Salam Juang, Salam satu Bumi Manusia…
Persoalan pelik antara Negara sebagai organisasi
tertinggi dengan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari negara dan
merupakan bangsa yang telah lebih dulu ada dibanding dengan keberadaan negara
itu sendiri telah mengantarkan masyarakat adat dalam pusaran konflik yang
berkepanjangan.
Negara yang tersandera kepentingan pemodal besar dengan
segala aparaturnya mempertegas posisi keberpihakannya terhadap borjuasi dengan
mengorbankan kepentingan rakyat luas,termasuk masyarakat adat.
Sampai maret 2013, tercatat 267 kasus perebutanlahan
antara Negara (+) Korporasi dengan masyarakat adat dan masyarakat disekitar
hutan. [Soegeng Soerjadi].
Di Kabupaten Sinjai, salah satu kasus yang berkepanjangan
adalah upaya penyingkiran secara sistematis terhadap masyarakat adat dari lahan
penghidupanya mulai dari pengklaiman sepihak lahan rakyat sebagai kawasan
lindung, upaya kriminalisasi terhadap pejuang-pejuang rakyat dengan menuduh
mereka merambah hutan lindung (11 warga menjadi terpidana) dengan proses-proses
hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.
Belum lagi selesai upaya kriminalisasi dengan alasan
perambahan hutan lindung, justru pemerintah memberikan izin eksplorasi tambang
kepada perusahaan dilokasi yang sama.
Pertanyaannya sederhana saja, pernahkah masyarakat adat
dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai rencana pembangunan di wilayah
mereka…? Jika masyarakat adat, bahkan dilarang untuk mengambil rumput dalam
kawasan lindung, lalu mengapa pemerintah memberikan izin eksplorasi tambang
yang jelas lebih banyak merubah bentuk dan fungsi bentang alam…?
Jelas bahwa negara ini dikuasai oleh kapitalisme yang
mengharuskannya mengkebiri hak-hak masyarakat yang telah berjuang
mengantarkannya keluar dari zaman kolonialisme, yang telah memenangkan
kontradiksi dengan kaum imperialis dan melahirkan negara ini.
Pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat adat yang
tertuang dalam beberapa regulasinya belumlah cukup dan bahkan melahirkan
penafsiran ganda. Pengakuan negara yang setegah hati ini dapat terlihat dengan
pengakuan masyarakat adat sebatas tari, pakaian, ritual tanpa pengakuan dari
aspek politik yang memberikan hak sepenuh-penuhnya kepada masyarakat adat untuk
mengatur penataan ruang wilayah adatnya, menggunakan hukum-hukum adatnya dalam
menyelesaikan masalah dan melakukan pemilihan kepemimpinan secara adat yang
justru jauh lebih demokratis, lebih efektif dan efisien dibanding dengan
proses-proses legal yang dijalankan negara.
Di komunitas Adat Barambang-Katute, proses pemilihan dilakukan
dengan musyawarah didahului dengan mengumpulkan tetua-tetua kampung lalu
mendiskusikan siapa yang paling pantas menjadi pemimpin mereka, ada banyak sisi
yang menjadi landasan penilaian misalnya: pernahkan dia melanggar hukum-hukum
adat..? bagaimana kadar pelanggaran itu..? bagaimana komitmennya (yang
terlihat) terhadap kesejateeraan rakyat..?
Proses-proses ini tidak melihat apakah dia orang asli
dalam komunitas atau merupakan hasil pernikahan dari luar kampung namun kekeh
pada prinsip-prinsip adat mereka dan menjunjung tinggi tujuan mereka:
“kebahagiaan dan kedamaian dalam komunitas”.
Lalu apa yang dilakukan negara..? negara lahir dengan
berbagai konsepnya mulai dari penataan wilayah sampai pada pemilihan
kepemimpinan yang sangat jauh dari kata demokratis dan sesuai kebutuhan rakyat.
Negara telah memaksa masyarakat adat menjadi orang lain, memaksa mereka keluar
dari kearifan lokalnya yang telah terbukti jauh lebih baik.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran sederhana tersebutlah,
maka kami dari Front GERTAK yang merupakan wadah perjuangan rakyat menyatakan
sikap:
1.
MendesakPemerintah segera mensahkan Rancangan Undang-undang Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat sesuai Versi yang diajukan oleh AMAN dan
organisas isekawan.
2. Mendesak
Pemerintah pusat dan daerah, segera merealisasikan putusan MK No. 35/PUU-X/2012
tentang “Hutan Adat bukan lagi Hutan Negara” dengan melakukan penentuan tapal
batas hutan (secara partisipatif) dan mengembalikan hutan adat ketangan
masyarakat adat.
3. Menghentikanupaya kriminalisasi masyarakat
adat Barambang-Katute
4. Bebaskan
tanpa Syarat 11 terpidana masyarakat adat Barambang-Katute dari segala tuntutan
hukum.
“Dulu, Sejak umur 7 tahun kami diajarkan oleh orang tua
kami untuk menanam pohon ditanah yang kosong (meski bukan dilahan sendiri), itu
disertai dengan penjelasan akan pentingnya pohon untuk memastikan ketersediaan
air dan juga untuk menjadi pagar kampung dari serangan angin dan badai pada
akhir musim kemarau.
Namun, Sejak Kehutanan hadir dikampung ini, pesan
tersebut ‘terpaksa’ kami rubah. Justru saat ini kami pesankan kepada anak dan
cucu kami untuk jangan menanam pohon.
Kenapa…? Karena menanam pohon dikampung ini (sekarang)
sama halnya dengan ‘membangun penjara untuk diri sendiri’. Semakin tinggi pohon
yang telah kau tanam maka semakin lama pula kau akan dipenjara ketika kau
memanfaatkannya.Itu yang terjadi disini. oleh sebab itu, selain menolak
tambang, kami juga menolak Hutan Lindung karena sama-sama menyiksa kami,
sama-sama merampas tanah kami”. (Puang Bado Janggo, TokohMasyarakat
Barambang-Katute)
Bergabunglah dalam barisan perjuangan rakyat, beri
dukunganmu dengan menandatangani petisi, karena kemerdekaan tidaklah turun
langit namun buah manis perjuangan.
“Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan
mengakui negara (AMAN-99)”
Salam juang,
Salam Pemberontakan…! Jayalah perjuangan
Rakyat…!