Minggu, 28 September 2014
JIKA NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI ,MAKA KAMIPUN TIDAK MENGAKUI NEGARA
MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA
JIKA NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI ,MAKA KAMI PUN TIDAK MENGAKUI NEGARA.
Kutipan pernyataan itu merupakan pernyataan yang dihasilkan
pada saat pendirian Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 di
Jakarta. Pernyataan itu memiliki suatu makna mengenai tuntutan untuk menata
hubungan yang baru antara masyarakat adat dengan negara. Pernyataan itu
merupakan bentuk refleksi dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat,
terutama untuk merespons Orde Baru yang mengabaikan, mendiskriminasi, dan
bahkan merampas hak-hak masyarakat adat atas nama pembangunan.
Pada dekade yang bersamaan pada level internasional juga
sedang menguat gerakan dari para orang asli yang menggunakan tradisi sebagai
alat perjuangannya. Kelompok-kelompok dari orang asli ini dalam wacana dan
gerakan internasional disebut dengan indigenous peoples. Apakah tepat
menerjemahkan indigenous peoples sebagai masyarakat adat? Siapa indigenous
peoples dalam konteks Indonesia?
Untuk menjawab hal itu maka perlu dilihat dulu mengenai
karakteristik dari masyarakat di Indonesia. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan juga merupakan negara
multi-etnis. Pemerintah mengkalkulasikan terdapat 1.128 etnis di Indonesia.
Penduduk Indonesia pun terdiri dari dua ras yang berbeda yaitu Austronesia yang
merupakan ras mayoritas dan ras Melanesia terutama penduduk asli Pulau Papua.
AMAN memperkirakan bahwa jumlah masyarakat adat di Indonesia berkisar antara
50-70 juta atau sekitar 20% dari penduduk Indonesia. Jumlah itu merupakan
jumlah yang dominan bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah indigenous
peoples secara regional di Asia dan dunia. UN Permanen Forum on Indigenous
Issue memperkirakan jumlah indigenous peoples adalah 370 juta jiwa yang 2/3
dari jumlah itu tinggal di Asia (AIPP, 2014).
Gerakan masyarakat adat di Indonesia berkembang pada awal
dekade 1990-an terutama untuk merespons persoalan-persoalan yang ditimbulkan
dari dampak program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Orde Baru
dibawah kepempimpinan Presiden Soeharto. Permasalahan itu baik dalam bentuk
diskriminasi, perampasan tanah, pengusiran, dan kekerasan lainnya. Agak berbeda
dengan ciri perkembangan gerakan serupa di negara lain yang hadir untuk
merespons penguasa dan praktik colonial yang masih berlangsung pada saat negara
baru sudah terbentuk.
Pengakuan bersyarat
Mari kita lihat bagaimana hukum di Indonesia mendefinisikan
masyarakat adat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia
ditemukan beragam istilah untuk menyebut masyarakat adat. Istilah-istilah
tersebut mulai dari komunitas adat terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum
adat, kesatuan masyarakat hukum adat, maupun masyarakat tradisional. Perbedaan
istilah itu menunjukan belum adanya suatu pemahaman tentang siapa itu
masyarakat adat dan sekaligus menunjukan perbedaan-perbedaan pendekatan yang digunakan
oleh pemerintah ketika berhadapan dengan masyarakat adat.
Bila merujuk kepada UUD 1945, istilah yang dipergunakan
adalah kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18B ayat 2) dan masyarakat
tradisional (Pasal 28I ayat 3). Selain itu ada pula Pasal 32 UUD 1945 yang
relevan sebagai rujukan bagi pengaturan masyarakat adat namun pada ketentuan
tersebut tidak menggunakan istilah untuk penyebutan subjek hukum masyarakat
adat.
Pasal 18B ayat 2 Pasal
28I ayat 3
Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan
masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur
dalam undangundang. Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
Diantara ketiga
ketentuan itu, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang paling sering dirujuk karena
juga pada ketentuan tersebut diatur baik mengenai subjek maupun hak masyarakat
adat. Dalam pengaturan mengenai subjek, ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
menentukan bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat. Namun pengakuan dan pernghormatan tersebut dilakukan dengan
sejumlah syarat. Terdapat tiga syarat untuk pengakuan keberadaan dan hak
masyarakat adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu: (1) Masyarakat
adatnya masih hidup; (2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan (3) Sesuai
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan bersyarat tersebut menjadi hambatan bagi penerapan
self-determination yang merupakan salah satu tema pokok dalam diskusi dan
gerakan masyarakat adat secara umum. Pengakuan bersyarat itu berimplikasi bahwa
keberadaan masyarakat hukum adat tidak ditentukan melalui self-determination
atau self-identification, melainkan ditentukan keberadaannya oleh negara, tentu
saja melalui pemerintah, apabila syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi.
Konsep indigenous peoples pada konteks internasional
Dalam buku State of the World’s Indigenous Peoples State of
the World’s Indigenous Peoples yang diterbitkan oleh PBB pada tahun 2009
dijelaskan bahwa konsep mengenai indigenous peoples sebenarnya berkembang dari
pengalaman kolonialisme, dimana masyarakat adat mengalami marginalisasi karena
invasi yang dilakukan oleh kolonial.
“The concept of indigenous peoples emerged from the colonial
experience, whereby the aboriginal peoples of a given land were marginalized
after being invaded by colonial powers, whose peoples are now dominant over the
earlier occupants. These earlier definitions of indigenousness make sense when
looking at the Americas, Russia, the Arctic and many parts of the Pacific.
However, this definition makes less sense in most parts of Asia and Africa,
where the colonial powers did not displace whole populations of peoples and
replace them with settlers of European descent. (State of the World’s
Indigenous Peoples, 2009:6)”
Pada konteks internasional sangat disadari bahwa pembicaraan
mengenai indigenous peoples adalah pembicaraan struktur masyarakat dan praktik
kolonial yang megucilkan penduduk asil masih dipertahankan bahkan sebuah negara
baru telah dibentuk. Dengan kata lain, konsep indigenous peoples lahir pada
konteks dimana penguasa kolonial masih menjadi kekuatan dominan paska
negara-negara terbentuk. Disadari pula bahwa hal itu sangat relevan dengan
konteks Amerika, Rusia, Arktik dan banyak tempat di Pasifik. Namun
pendefinisian yang demikian kurang sesuai dengan kebanyakan bilayah di Asia dan
Afrika dimana kekusaan kolonial tidak berlanjut ketika negara-negara baru
dibentuk oleh penduduk asli.
Colonial period
Ilurtrasinya digambarkan pada bagan di atas. Pada bagan
atas, digambarkan bagaimana penguasa colonial masih terus menjadi kekuatan
dominan ketika rezim negara dibentuk, sehingga penduduk asli yang
termarjinalisasi mendefinisikan dirinya sebgai indigenous peoples. Dalam
konteks demikian, indigenous peoples merupakan respons terhadap dominasi
kolonial pada tahap lanjut. Berbeda dengan bagan yang di bawah dimana
keberadaan dan praktik kolonial dikikis dengan dengan dibentuknya negara baru.
Kolonialis ditendang kembali ke kampong halamannya, mereka tidak menjadi
penduduk dominan di negara yang merdeka. Ini yang terjadi di kebanyakan wilayah
Asia dan Afrika. Lalu bagaimana mendefinisikan kelompok masyarakat yang ada
pada bagan di bawah paska kolonialisme? Apakah mereka tepat disebut sebagai
indigenous peoples? Padahal mereka tidak hadir sebagai respons atas
kolonialisme tahap lanjut dari bangsa Eropa? Atau apakah mereka lebih terpat
dikelompokan sebagai masyarakat suku (tribal peoples)?
Tribal peoples Vs indigenous peoples
Perkembangan awal instrument hukum internasional yang
membahas hal ini, yaitu Konvensi ILO 169 yang dikeluarkan oleh International
Labor Organization (ILO) pada tahun 1989 membedakan dua kelompk yang disebut
dengan indigenous peoples dan tribal peoples.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) dari Konvensi ILO 169 dinyatakan
bahwa:
“indigenous peoples” as being “peoples in independent
countries who are regarded as indigenous on account of their descent from
populations which inhabited the country, or a geographical region to which the
country belongs, at the time of
conquest or colonization
or the establishment
of present states boundaries and who, irrespective of
their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural
and political institutions.”
Sementara itu dalam Pasal Pasal 1 ayat (1) huruf a
dijelaskan bahwa”
‘tribal peoples’ is “peoples
in independent countries
whose social, cultural
and economic conditions
distinguish them from other sections of the national community, and whose
status is regulated wholly or partially by their own customs or traditions or
by special laws or regulations.”
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua konsep itu adalah
mengenai penaklukan (conquest) dan kelanjutan kolonialisasi (colonization) yang
masih berlangsung sampai hari ini sebagaimana terdapat dalam definisi
indigenous peoples. Pada tribal peoples, persoalan kelanjutan kolonialisasi
(continuity of colonization) bukan menjadi factor pengidentifikasi. Pada tribal
peoples yang diutamakan adalah mengenai perbedaan (distinguish) daroi aspek
sosial, budaya dan ekonomi antara tibal peoples dengan komunitas-komunitas
nasional.
Sedangkan dari sisi PBB, perkembangan instrument hukum
internasional mengenai masyarakat adat didalami secara serious dengan terlebih
dahulu melakukan penelitian sistematis mengenai keberadaan masyarakat adat.
Studi tersebut dilakukan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Jose Martinez Cobo
(Special-Rapporteur of the UN Sub-Commission on the Promotion and
Protection of Human
Rights). Dalam hasil studinya tersebut Cobo memberikan mendefinisikan
sebagai berikut:
Indigenous communities, peoples and nations are those which,
having a historical continuity with
pre-invasion and pre-colonial
societies that developed on
their territories, consider
themselves distinct from
other sectors of the societies now prevailing in those territories, or
parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are
determined to preserve, develop
and transmit to
future generations their
ancestral territories, and their
ethnic identity, as
the basis of
their continued existence as
peoples, in accordance
with their own
cultural, social institutions and
legal systems.”
Diskursus mengenai masyarakat adat di PBB mengerucut kepada
pengunan satu istilah. Bila sebelumnya di dalam Konvensi ILO 169 dikenal
istilah indigenous peoples dan tibal peoples, dalam kajian dan rezim hukum pada
PBB mengerucut kepada penggunaan istilah indigenous peoples. Sebuah kajian yang
dilakukan United Nation Permanent Forum on Indigenous Issue yang berjudul The
Concept of Indigenous Peoples (PFII/2004/WS.1/3)pada tahun 2004 menyimpulkan:
“Nevertheless, many of these peoples refer to themselves as
“indigenous” in order to fall under discussions taking place at the United
Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and “tribal” are used as
synonyms in the UN system when the peoples concerned identify themselves under
the indigenous agenda.”
Kesimpulan itu kemudian menjembatani debat antara indigenous
peoples dan tribal peoples. Pilihan kata yang digunakan adalah indigenous peoples,
sedangkan kelompok tribal peoples pun dapat mempergunakan instrument hukum yang
berkembang pada berbagai level dibawah paying indigenous peoples. Hal ini
kemudian diperkuat dengan lahirnya UNDRIP yang mempergunakan istilah dan konsep
indigenous peoples. Meskipun memang di dalam UNDRIP tidak ada pendfinisian
siapa yang dimaksud dengan indigenous peoples.
Namun hal ini tidak betul-betul bisa dijembatani sebab dalam
perkembangannya yang lebih banyak dirujuk adalah konsep mengenai indigenous
peoples dari pada tribal peoples. Definisi kerja (working definition) dari
Martinez Cobo selalu menjadi rujukan utama dari semua publikasi yang
membicarakan mengenai masyarakat adat. Dalam definisi Cobo itu dapat
diidentifikasi menjadi empat kriteria masyarakat adat. Empat kriteria itu
adalah:
Kelanjutan sejarah dari masa masyarakat pra-invasi atau
pra-kolonial yang hadir di wilayah mereka (colonial continuity)
Kekhasan bila dibandingkan dengan kelompok lain di dalam
masyarakat (distinctiveness)
Bukan merupakan kelompok dominan di dalam masyarakat
(non-dominance)
Memiliki kecenderungan untuk menjaga, mengembangkan dan
melanjutkan wilayah adatnya kepada generasi berikut sebagai identitas mereka
yang memiliki pola kebudayaan sendri, institusi sosial dan sistem hukum.
Lebih lanjut, UNPFII menambahkan tiga kriteria yang menjadi
pelengkap dari keberadaan masyarakat adat (UNCHR, 2013:2-3). Tiga kriteria yang
dimaksud adalah:
Hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumber daya alam di
sekitarnya
Perbedaan sistem sosial, ekonomi dan politik; dan
Perbedaan bahasa, budaya dan kepercayaan.
Yang menarik dari ketujuh kriteria yang dirumuskan dalam
Fact Sheet No. 9. Indigenous Peoples and United Nation Human Rights System yang
diterbitkan oleh PBB itu adalah penempatan kriteria tersebut sebagai kriteria
kumulatif. Mengapa demikian, karena secara gramatikal semua criteria tersebut
sifatnya komplementer dan oleh karena itu lah dipergunakan kata hubung ‘dan’
pada penjelasan terakhir pada kriteria nomor enam. Sebagai kriteria yang kumulatif, maka suatu masyarakat adat
akan dianggap ada bila memenuhi kesemua kriteria tersebut.
Tujuh kriteria tersebut bisa diringkas menjadi lima kriteria
sebagai berikut:
Keberlanjutan sejarah dari kolonialisme
Kekhasan menyangkut sistem sosial, ekonomi, politik, budaya,
dan bahasa
Bukan merupakan kekuatan dominan
Hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya
Memiliki tradisi yang dijaga secara turun temurun
Lalu bagaimana bila kelima kriteria tersebut diletakan dalam
konteks masyarakat adat di Indonesia? Di Indonesia sendiri istilah dan definisi
masyarakat adat sangat beragam. Dari sisi istilah misalkan ada peraturan yang
menggunakan istilah komunitas adat terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum
adat, kesatuan masyarakat hukum adat, maupun istilah masyarakat tradisional.
Sedangkan dari sisi definisi berikut beberapa definisi yang penting dikemukakan
dalama pendek ini.
Peraturan dan istilah yang digunakan Definisi dan Kriteria
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
Kesatuan masyarakat hukum adat
Kesatuan masyarakat hukum adat diakui:
Sepanjang masih hidup
Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Putusan Mahkamah Konsititusi Suatu
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada
dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya mengandung
unsur-unsur:
a) ada masyarakat
yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
b) ada pranata
pemerintahan adat;
c) ada harta
kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d) ada perangkat
norma hukum adat; dan
khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat
teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu;
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Masyarakat hukum adat
Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechsgemeenschap);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati; dan
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Masyarakat hukum adat
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat
yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Masyarakat hukum adat
Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria
masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgememschaft);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat
yang masih ditaati; dan
ada pengukuhan dengan peraturan daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Kesatuan masyarakat hukum adat
Kesatuan masyarakat hukum adat memenuhi unsur:
sepanjang masih hidup
sesuai dengan perkembangan masyarakat
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil
Masyarakat adat, masyarakat tradisional, masyarakat lokal
UU ini membagi masyarakat dalam tiga kategori:
Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang
secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan
tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai
nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan
tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada
dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Masyarakat hukum adat
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan
Sosial Komunitas Adat Terpencil.
Komunitas Adat Terpencil
Komunitas adat terpencil atau yang selama ini lebih dikenal
dengan sebutan masyarakat terasing adalah kelompok sosial budaya yang bersifat
lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlihat dalam jaringan dan
pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil antara lain:
berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen;
pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit
dijangkau;
pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistems;
peralatan dan teknologinya sederhana;
ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam
setempat relatif tinggi;
terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.
Defini kerja AMAN
Masyarakat adat
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik
sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
(Hasil Paripurna DPR, 11 April 2013)
Masyarakat hukum adat
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah,
sumber daya alam,memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di
wilayah adatnya.
Masyarakat Hukum Adat memiliki karakteristik:
sekelompok masyarakat secara turun temurun;
bermukim di wilayah geografis tertentu;
adanya ikatan pada asal usul leluhur;
adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya
alam;
memiliki pranata pemerintahan adat; dan
adanya tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
Kesesuain dengan kriteria indigenous peoples
Beragam definisi dan kriteria mengenai masyarakat adat dalam
kerangka hukum Indonesia perlu dikaitkan dengan konsep yang terdapat dalam
diskursus internasional mengenai indigenous peoples. Hal ini setidaknya untuk
memberikan gambaran sejauhmana konsep internasional sejalan dengan realitas dan
konsep yang dikembangkan dalam kebijakan di level nasional.
Kriteria pertama dari indigenous peoples adalah
keberlanjutan sejarah dari kolonialisme (historical continuity of colonialism).
Kriteria ini sangat cocok untuk negara-negara di Benua Amerika dan Australia
dimana kolonialis masih bercokol dan mendominasi negara meskipun secara formal
kolonialisme dianggap sudah berakhir. Di Amerika Serikat misalkan yang
mendominasi hari ini bukanlah penduduk asli, melainkan imigran yang berkuasa
dan membangun negeri. Hal ini berbeda dengan Indonesia dimana kolonialis
Belanda ‘ditendang’ pulang kampung dan tidak lagi menjadi kekuatan dominan di
Republik Indonesia yang dibangun sendiri oleh penduduk asli Indonesia. Dengan
demikian kriteria ini, meskipun menjadi kriteria utama dalam diskursus mengenai
indigenous peoples, tetapi sangat tidak relevan dengan konteks Indonesia.
Lain halnya bila kriteria historical continuity of
colonialism dimaknai secara lebih luas tidak terbatas kepada masih tinggal dan
berkuasanya imigran ditanah asli masyarakat adat, melainkan sebagai konsep,
hukum, dan bangunan sosial yang timpang yang masih terus diwariskan pada saat
sebuah negara bangsa dibentuk. Dalam pengertian yang lebih luas ini kriteria
historical continuity of colonialism dapat berlaku di Indonesia sebab masih
banyak warisan hukum dan konsep kolonial yang mendiskriminasi penduduk pribumi
yang diterapkan. Sebagai contoh misalkan konsepsi domein verkalring, bahwa
tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat, maka dianggap
sebagai tanah negara. Konsepsi ini masih terus dipertahankan sebagai pembenar
dari perampasan tanah-tanah masyarakat adat. Selain itu, dalam konteks
Indonesia warisan colonial seperti KUHP dan KUHPerdata masih tetap dipergunakan
dan dianggap sebagai peraturan yang terintegrasi sebagai realitas sosial di
Indonesia.
Kriteria kedua adalah kekhasan (distinctiveness) dari sistem
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahasa. Kriteria kedua ini sangat penting
namun bisa sangat menjebak. Kekhasan pada satu sisi bisa menjadi penanda
keberbedaan antara satu komunitas dengan komunitas lain. Pada titik ini nuansa
homogenitas dari suatu komunitas muncul sebab mereka secara kolektif berbeda
dengan komunitas yang lain. Homogenitas itu bisa terjadi bila ada upaya
pemurnian dan penolakan terhadap anasir dari luar yang bisa saja timbul dari
interaksi yang bersifat sukarela (voluntary) misalkan melalui perdagangan dan
pendidikan. Padahal amat sulit menemukan sebuah komunitas yang betul-betul
homogen dan memiliki sistem sosial, ekonomi, politik, budaya dan bahasa yang
khas. Kalaupun ada yang murni khas dan berbeda itu, berarti komunitas itu
merupakan komunitas yang tidak pernah kontak dengan dunia di luarnya.
Masalah lain dari kriteria ini adalah bila sebuah komunitas
sudah menerima sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahasa lain, apakah
komunitas tersebut masih dianggap sebagai indigenous peoples? Pada titik ini,
criteria kekhasan (distinctiveness) menjadi jebakan. Misalkan, apakah bila
masyarakat sudah menggunakan uang sebagai alat tukar masih dianggap memiliki
sistem ekonomi yang khas? Atau apakah misalkan masyarakat sudah menggunakan
pupuk untuk kegiatan pertanian dianggap memiliki sistem yang khas? Atau apakah
masyarakat yang sudah mengadopsi sistem pemerintahan formal dan meleburkan
sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan formal masih bisa
dianggap memiliki sistem yang khas? Atau apakah masyarakat yang sehari-hari
sudah menggunakan bahasa Indonesia, yang bukan bahasa asalnya dianggap masih
bisa dianggap memiliki sistem yang khas? Simpulannya, kriteria ini penting
namun bisa menjadi jebakan bila tidak diargumentasikan dengan baik oleh
masyarakat yang memperjuangkan identitas dan haknya sebagai masyarakat adat.
Kriteria ketiga adalah bukan merupakan kekuatan dominan
(non-dominance). Kriteria ini sangat elementer sebagai basis untuk
memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang termarjinalisasi. Kriteria bahwa
masyarakat adat bukan kekuatan dominan sebaliknya menunjukan ada kekuatan
dominan di atas masyarakat adat. Kekuatan dominan itu bisa negara, pasar atau
budaya tertentu yang menindas masyarakat adat. Elemen ini sangat penting dalam
pengidentifikasian masyarakat adat di Indonesia sebagai gerakan warga negara
yang selama ini menjadi korban diskriminasi dan pembangunan yang merampas tanah
air masyarakat adat.
Kriteria keempat adalah hubungan yang kuat dengan tanah.
Kriteria ini pun sangat relevan dengan konteks perjuangan masyarkat adat di
Indonesia yang pada dasarnya adalah perjuangan untuk mempertahankan atau
merebut kembali tanah air mereka di hadapan program-program pembangunan yang
datang dari luar. Bagi masyarakat adat hubungan yang kuat dengan tanah tidak
saja dengan mengartikan tanah sebagai faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari tetapi dalam banyak hal tanah dan sumber daya alam lainnya
menjadi identitas, harga diri dan menjadi tempat mengadakan ritual-ritual adat.
Sesuai dengan sifat masyarakat adat yang bersifat komunal, maka hubungan yang
kuat dengan tanah adalah hubungan yang bersifat komunal, bukan dalam pengertian
hak atas tanah individual, meskipun di dalam tanah komunal bisa pula
diperbolehkan individu untuk menggarap.
Kriteria kelima adalah memiliki tradisi turun-temurun dan
hukum adat yang dipergunakan untuk mengelola kehidupannya. Aspek tradisi
menunjukan ketersambungan antar-generasi di dalam masyarakat adat baik antare
generasi yang dulu dengan sekarang atau dengan generasi berikutnya. Hadirnya
tradisi dan institusi sosial seperti hukum adat menjadi kriteria yang
membedakan masyarakat adat dengan komunitas masyarakat lainnya. Persoalannya
tidak semua tradisi dan hukum adat tersebut masih utuh, melainkan banyak yang
telah bergeser baik secara alamiah maupun karena paksaan dari luar.
Alternative pendefinisian masyarakat adat di Indonesia
Mendefinisikan masyarakat adat harus sesuai dengan konteks
dimana gerakan itu muncul. Tidak heran kemudian PBB pun tidak mau memberikan
definisi baku mengenai siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat karena
gerakan masyarakat adat itu sangat kontekstual dan bahkan pada beberapa hal
sangat bersifat lokal. Selain itu, tidak adanya definisi baku mengenai diapa
masyarakat adat (indigenous peoples) akan memberikan peluang pula kepada
penerapan self-identification yang merupakan salah satu penjaran dari prinsip
self-determination dalam diskursus mengenai masyarakat adat di level
internasional.
Membuat definisi yang baku punya konsekuensi kepada
pengecualian (exclusion). Dalam konteks membangun sebuah gerakan, exclusion
punya pengaruh untuk membatasi perkembangan gerakan menjadi lebih besar. Oleh karena
itu diperlukan rumusan yang lentur untuk bisa mengakomodasi banyak kalangan.
Namun tetap pelu juga memberikan pagar-pagar agar memudahkan proses-proses
perjuangan, apalagi bila memasuki ranah hukum yang lebih operasional, misalkan
dalam konteks bagaimana mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
Pagar-pagar dimaksud diperlukan dalam bentuk kriteria-kriteria mengenai
keberadaan masyarakat adat. Selama ini, kriteria masyarakat adat (indigenous
peoples) yang berkembang dalam hukum dan diskursus internasional tidak
sepenuhnya bisa diterapkan dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu diperlukan
suatu pemaknaan mengenai kriteria yang lebih sesuai.
Gerakan masyarakat adat di Indonesia tidak mengalami
historical continuity of colonialism, khususnya dalam bentuk kehadiran langsung
para penguasa kolonial pada negara baru yang terbentuk. Selain itu, kriteria
mengenai kekhasan (distinctiveness) pun mengalami problematika sendiri ditengah
perkembangan masyarakat yang semakin terbuka. Ada karakter dan kriteria yang
melekat kuat dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia. Tiga kriteria yang
melekat dan perlu dijadikan sebagai rujukan adalah. Pertama, gerakan masyarakat
adat merupakan gerakan dari kelompok yang tidak dominan. Dengan kriteria ini,
maka gerakan masyarakat adat merupakan gerakan untuk menuntut keadilan,
khususnya untuk menghadapi kekuatan dari luar yang menciptakan diskriminasi dan
kesengsaran bagi masyarakat adat.
Kedua, gerakan masyarakat adat merupakan gerakan untuk
menuntut kedaulatan atas tanah, wilayah dan sumber daya. Oleh karena itu
gerakan ini punya karakter mengenai hubungan yang kuat antara masyarakat adat
dengan tanah, wilayah dan sumber daya. Tidak berarti bahwa kriteria ini
mempersempit gerakan masyarkat adat hanya sebatas gerakan yang berkaitan dengan
hak atas tanah, dengan mengesampingkan hak-hak lain misalkan hak atas
kebudayaan, pengetahun tradisional, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Penekanan kepada persoalan hak atas tanah, wilayah dan sumber daya diperlukan
karena hak ini merupakan hak yang paling mendasar yang menjadi landasan bagi
banyak hak-hak lainnya. Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya merupakan
perjuangan bersama dan oleh karena itu hak ini bersifat komunal meskipun di
dalam hak yang komunal tersebut terdapat pula klaim atau hak individu untuk
menggunakan tanah, wilayah dan sumber daya bagi keperluannya.
Ketiga, gerakan masyarakat adat menggunakan tradisi sebagai
alat perjuangannya. Tradisi dalam pengertian yang lebih luas termasuk pula
hubungan asal-usul dengan tanah dan leluhur, serta praktik-praktik yang
diterapkan sejak dahulu yang dipraktikan sampai sekarang untuk diwariskan
kepada generasi berikutnya. Namun dalam banyak hal tradisi itu sudah mulai
terkiris, oleh karena itu upaya untuk melakukan revitalisasi atau modifikasi
tradisi merupakan hal yang wajar untuk menciptakan keberlanjutan sebagai sebuah
komunitas.
Dengan mendasarkan pada ketiga kriteria atau karakteristik
tersebut, maka masyarakat adat di Indonesia perlu dipahami sebagai
komunitas-komunitas yang memiliki hubungan kuat dengan tanah, wilayah dan
sumber daya dan mereka mempergunakan tradisi sebagai alat untuk menghadapi
kekuatan dominan yang menciptakan situasi ketidakadilan dalam kehidupan mereka.
SUMBER : http://yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/
Tag:Hak Asasi Manusia, Hak Ulayat, Indigenous Peoples,
Masyarakat Adat, masyarakat hukum adat, sumberdaya alam, UNDRIP
MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM INSTRUMENT HUKUM NASIOANAL
PENGAKUAN MASYARAKAT
ADAT DALAM INSTRUMENT HUKUM NASIOANAL
Oleh Azmi Siradjudin AR
“Asal – Muasal”
Istilah masyarakat
adat mulai mendunia, setelah pada tahun 1950-an ILO, sebuah badan dunia di PBB
mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah dihembuskan oleh ILO sebagai
isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi isu tersebut
untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan OMP
(1982) dan OD (1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika
Latin, Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu masyarakat adat berawal dari
berbagai gerakan protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang
meminta keadilan pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan
transnasional di bidang pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan
pengembangan sejumlah wilayah konservasi oleh pemerintah AS dan Kanada.
Komunitas Inuit di Alaska (negara bagian AS di dekat kutub
utara) adalah korban dari ketidak adilan pembangunan industri pertambangan di
Amerika Serikat. Di Kanada, komunitas Inuit yang masuk dalam wilayah negara
tersebut juga memprotes kebijakan Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan
wilayah kelola menuju desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan Migas dan
Batubara akan mengolah wilayah tersebut. Di sebelah tengah AS, pembangunan
Taman Nasional Missisipi juga merampas hak kelola komunitas pribumi Indian
lainnya, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional Rocky Mountain di
sebalah barat juga mengancam kehidupan Indian Apache. Berbagai protes dari
“native peoples” di dataran Amerika Utara pada tahun 1950-an, memancing reaksi
ILO sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam isu perlindungan tenaga kerja.
Karena itu, ILO kemudian melakukan berbagai riset lapangan, dan pada tahun
1957, ILO mengeluarkanKonvensi No.107 dan rekomendasi No.104 tentang
“Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku”. Pada tahun
1989, Konvensi tersebut diperbaharui oleh ILO dengan Konvensi No.169.
Isu-isu
ketidak-adilan yang dirasakan oleh berbagai komunitas “indie” (pribumi) ataupun
“native peoples” (masyarakat asli)
berpengaruh bagi ILO untuk memunculkan isu generatifnya, “indigenous peoples”.
Oleh gerakan Ornop (organisasi non-pemerintah) di Indonesia, kemudian diadopsi
dan diterjemahkan menjadi kosa kata “masyarakat adat”, terutama pada pertemuan
bertajuk “Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang
Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Dalam Kawasan Hutan”, yang berlangsung pada
tanggal 25 – 29 Mei 1993, di Toraja, Sulawesi Selatan. Isu “masyarakat adat”
semakin memperoleh tempatnya dalam gerakan masyarakat sipil melalui
pendeklarasian pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun
1999 di Jakarta.
“Realitas Sosial – Budaya”
Dari realitas
sosial-budaya yang ada di Indonesia, keberadaan entitas masyarakat adat
ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang
bervariasi. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam 4 tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal
yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak
mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan
lain-lainnya. Bahkan meraka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak
luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya
dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai
seperti komunitas To Kajang (Kajang
Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten; Kedua, adalah kelompok masyarakat
lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi
masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak
luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan
Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya
berada di Jawa Barat; Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung
dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka adat
yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan
dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat
adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan,
Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di
Lampung, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah
tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat
dari penjajahan yang telah berkembang
ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara,
dan Betawi di Jabotabek.
Realitas seperti pengelompokkan tipologi
masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak dijumpai di
berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun,
Mansama, Laudje, Tajio, Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari
daftar numerasi di Depdagri, diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan
ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah kelompok
etno-linguistik. Dari studi etnolog yang dilakukan Barbara Grimes, setidaknya
lebih dari 20 kelompok etno-linguistik yang berbeda terdapat di Sulawesi
Tengah. Tetapi, tidak semua kelompok etno-linguistik tersebut dapat
dikategorikan sebagai masyarakat adat. Sebab, pendefinisian masyarakat adat
harus merujuk kedalam 4 tipologi yang telah disebutkan sebelumnya
.
Berangkat dari
realitas tersebut tadi, sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah kita untuk
tidak mengakui eksistensi masyarakat adat, secara politik maupun hukum. Namun
sayangnya, penantian untuk adanya pengakuan secara politik dan hukum secara
gencar baru terasa pasca bergulirnya reformasi. Termasuk dalam perubahan atau
amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk amandemen yang ketiga dan
keempat. Bahkan jauh sebelumnya, sebanarnya telah ada UU Pokok Agraria tahun
1960 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno. Tapi, sayangnya lagi, UU
Pokok Agraria tidak banyak bermakna bagi keberadaan masyarakat adat di
Indonesia.
“Pengakuan Hukum”
Ada beberapa
instrumen hukum nasional yang mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), pengakuan dan penghormatan terhadap
masyarakat adat, termaktub dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui
dan menghormati kestuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”. Pasal ini, memebrikan posisi konstitusional kepada masyarakat
adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional
bagi penyelenggara negara, bagimana seharusnya komunitas diperlakukan. Dengan
demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang ; (a) kewajiban
konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta (b)
hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak tradisionalnya.
Apa yang termaktub dalam pasal 18B ayat (2)
tersebut, sekaligus merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh
penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan
maasyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang. Pasal lain yang berkaitan
dengan masyarakat adat, adalah pasal 281 ayat (3) yang menyebutkan “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.
Sebelum
amandemen terhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Azasi
Manusia (HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak
masyarakat adat. Dalam pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bahagian talk
terpisahkan dari TAP MPR itu, ditegaskan ; “Identitas budaya masyarakat
tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman”. Dengan adanya pasal ini, maka hak-hak dari amsyarakat adat
yang ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati,
dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat.
Bahkan dalam
TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat
adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut
sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan
dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip:......j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak amsyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam”.
Secara umum,
TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya
alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat
adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan
lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya
pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal PSDA berdasarkan prinsip-prinsip
penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat,
keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan terhadap masyarakat adat
Pada tingkatan
Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah
produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat.
Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas
persatuan bangsa”.
Pasal 5 ini
merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat
tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia
adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini,
dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan
hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum
yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal
dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi,
kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat
hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah
Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan
dibawah ini.
Undang-Undang No.39 tahun 1999
tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998
yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak
Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
(1) Dalam rangka
penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
(2) Indentitas
budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan
pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih
berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi
Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan
perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa
dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat
hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan
dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Lebih jauh,
pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum,
masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan
nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran
terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas)
nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika
pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau
paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan
berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM.
Undang-Undang
lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999
tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat,
seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas
adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih
diklaim sebagai hutan negara, seperti
dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan
negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah
(pasal 1 angka 4).
Untungnya,
pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama
bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat.
Pasal ini menyatakan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penjelasan
pasal 5 ayat (1) juga menguraikan:
“Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara
yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan
marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya… Dengan dimasukkannya hutan adat
dalam pengertian hutan negara, tidak
meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.”
Dengan
demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan
pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam
pasal 67 ayat (1) bahwa :
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, berhak:
a. melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat
yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.
Lantas,
bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih
ada ? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut
diupayakan sehingga hak-haknya dapat ditegakkan ? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat
(2) menyebutkan: “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Sedangkan untuk pertanyaan pertama,
penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut:
“Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah
hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan
perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari”.
Berbeda
dengan UU sebelumnya yang menegaskan hak-hak masyarakat hukum adat dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan
budaya, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada
penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan
pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal
203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya
berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini
sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya
dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerin-tahan setingkat desa
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud
dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di
provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan
Papua, Negeri di Maluku”.
--------------------
*Artikel ini, dikembangkan dari Konsep Paper “Usulan
Kebijakan Pengukuhan Hak Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Propinsi
Sulawesi Tengah” – Yayasan Merah Putih (YMP).
**Kedua penulis, adalah staf pada Yayasan Merah Putih (YMP)
CERITA PAPARAN KAMPUNG PAKIS OLEH DIPERTUAN SAKTI SELO TAHUN 1739
INILAH CERITA JERAI PAPARAN
KAMPUNG LAMA PAKIS ( KAMPUNG LAMA PAKIS )
YAITU DI
ZAMAN RAJA YANG DIPERTUAN SAKTI YANG NAMANYA”
SELO –
RAJA KE 8 (DELAPAN) LUHAK ROKAN IV KOTA TAHUN 1739
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini Diceritakan Oleh Raja Rokan yang Ke 8 yang Dipertuan SELO ,yang memerintah Sekitar Tahun 1739 sampai dengan 1805
Pada Beberapa abad yang lalu ,Ada Sekelompok Dari Kota Raja
Gerantung Rao Dan Langgung Kira-Kira Ada 12 Kepala Keluarga Terdiri Dari
Laki-Laki Dan Perempuan. Mereka Ada Dua Persukuan Melayu Dan Caniago. Mereka
Berangkat Dari Kediamannya Mau Cari Tempat Berkampungnya Arah Mendaki Ke Atas
Bukit Semelumbu Dan Menelusuri Sampai Ke Ujung Bukit Tersebut. Turun Kebawah
Tempatnya Ke Hulu Sungai Bungo Pasir Pengarayan. Mereka Bermalam Disana Ada
Beberapa Bulan Mereka Disana, Karena
Terlalu Dekat Didaerah Orang Lain, Sedangkan Mereka Tidak Tahu Kampung Apa
Namanya Tersebut, Maka Mereka Mencari Tempat Yang Agak Jauh Dari Situ, Dan
Takut Mengganggu Keamanan Orang-Orang Kampung Tersebut.
Di
Ceritakan, Maka Pindahlah Ke Bukit Sebelah Air Sungai Bungo Tersebut, Maka
Bertemulah Sebuah Sungai Yang Air Bersimpang Dua, Sebelah Kiri Airnya Berwarna
Kuning- Dan Yang Sebelah Kanan Airnya Berwarna Putih Bersih. Mereka Dan
Rombongan Terheran-Heran Engapa Air Ini Tidak Sama. Dan Di Telusuri Pemantang
Tadi Kearah Hilir Sungai Tersebut Untuk Mencari Tempat Bermalam. Maka Tidak Laa Kemudian Bertemulah Mereka
Suatu Tempat Dataran Yang Agak Tinggi, Maka Bermalamlah Mereka Di Situ.
Keesokan Harinya Ketua Rombongan Berjalan Di Sekitar Tempat Itu, Maka Nampaklah
Oleh Mereka Di Seorang Sungai Yang Mereka Bermalam Tadi Lebih Bagus Datarannya
Luas Nampak Disitu Ada Batu-Batu Besar Tetapi Ingin Menyebrang Tidak Berani,
Air Itu Agak Besar Dan Dalam Jadi Oleh Ketua Rombongan Maka Di Tumbang lah Salah
Satu Batang Pakis SEBAGAI jEMBATAN UNTUK MENYEBERANGI SUNGAI ITU, SEMENJAK ITULAH DI SEBUT SUNGAI ITU SUNGAI PAKIS DAN MEMBUAT PERKAMPUNGAN YANG DI SEBUT NAMANYA KAMPUNG PAKIS SAMPAI SEKARANG . Untuk Jalan
Keseberang Menengok Tanah Hamparan Yang Agak Luas Dari Yang Pertama Mereka
Temui Tadi Maka Sampailah Mereka Kesebarang. Sesampai Di Sana Maka Menebas
Mereka Untuk Kebun Dan Berladang. Sedangkan Berbelanjaan Masih Ke Pasir
Pengaran Begitulah Dekatnya Sungai Bungo Dengan Sungai Pakis Tadi, Maka
Semenjak Di Tumbang Batang Pakis Tadilah Baru Di Beri Nama Sungai Batang Pakis
Tersebut, Sebelumnya Belum Tahu Nama Sungai Tersebut.
Arkian
Kesal Tersebut Makin Lama Makin Berkembang Ladang Mereka Hasilnya Mencukupi
Kebutuhan Mereka Tinggal Disana. Lama Kelamaan Mereka Yang 15 Kepala Keluarga
Tadi Semakin Banyak Semakin Berkembang Maka Di Bantulah Kubu-Kubu Sebelah
Kanan, Dan Sebelah Kiri Batang Sungai
Pakis Tersebut. Karena Tadi Di Ceritakan Diatas Ada Dua Persukuan, Maka Suku
Melayu Menempati Sebelah Kiri Sungai Pakis Dan Sebelah Kanan I Tempati Oleh
Suku Caniago. Jadi Oleh Ayah Datuk Sati Namanya Caniago Maka Istrinya Tntu Orang Suku Melayu. Anaknya
Adalah Datuk Sati,( Datuk Sati ) Suku Melayu Dan Begitu Pulayang Lain. Ayah Datuk Paduka Konoro Dan Ayah Dari Paduka
Konoro Melayu Maka Istrinya Suku Caniago Anaknya Datuk. Paduka Konoro Suku
Caniago, Mereka Kawin Ambil Mengambil ( Kawin Silang ). Adik Dari Ayah Datuk
Sati Yang Perempuan Di Kawini Oleh Ayah Datuk Paduka Konoro Anaknya Datuk Sili.
Sedangkan Adik Perempuan Dari Ayah Datu. Paduka Konoro Di Ambil Oleh Ayah Datuk
Sati, Anaknya Datuk Paduka Konoro. Lama Kelamaan Semakin Bertambahlah Pendek
Kubu-Kubu Tersebut
, Di Ceritakan, Maka Bertambah Luas Pula Tempat Tinggal
Mereka, Maka Oleh Ayah Datuk Sati Di Buatlah Namanya Kampung Pakis. Penduduk
Semakin Ramai, Hasil Padi Semakin Menjadi-Jadi Kampung Tersebut Amatlah Rukun
Dan Damai. Pada Suatuhari Ibu Dari Datuk Sati Pergi Keladang Tidak Terlalu Jauh
Dari Rumah Mereka, Sedangkan Ibu Dari Datuk Paduka Konoro Pun Demikian Pula
Karena Padi Mereka Sangat Baik Pertumbuhannya Tentu Haruslah Di Siangi Jadi
Sepinggal Mereka Ke Ladang Ada Dua Orang Adik Dari Datuk Sati Dengan Datuk
Paduka Konoro Tinggal Satu Rumah. Karena Mereka Sudah Agak Besar Kira-Kira Umur
6 (Tahun) Tahun Jadi Nama Adik Datuk Sati Adalah Taruh Suku Melayu Sedangkan
Nama Adik Datuk Paduka Konoro, Mondan Suku Caniago, Sepeninggal Mereka ( Ibunya
) Keladang Mereka Taruh Dengan Mondan Asyik Bermain Bengkek Lempar-Lemparan
Supaya Yang Kena Induk Dari Bengkek Tadi Maka Di Ambilah Milik Semuanya (
Seperti Permainan Kelengreng Sekapang ) Lama Kelamaan Bermain Bengkek, Habislah
Bengkek Si Mondan Tadi Adik Datuk Paduka Konoro, Memanglah Taruh Adik Datuk
Sati. Karena Masih Ingin Bermain Lagi, Si Mondan Minta Kembali Lagi Bengkeknya
Sama Taru. Si Taruh Pun Tidak Mau Memberi Mondan. Jadi Marahlah Mondan Pada
Taruh, Taruh Pun Lari Ke Sebalik Pintu, Mondan Pun Tak Habis Akal, Di Ambil
Sebilas Tajak Untuk Menjiangi Padi Yang Lain Di Rumah Itu. Di Pukulnya Padi Si
Taruh Karena Kebagian Kepala Tepatnya Ubun-Ubun Taruh, Maka Keluarlah Darah
Membasahi Badan Si Taruh, Taruh Pun Pingsan Di Balik Pintu Tadi, Mondan Pun
Lari Entah Kemana, Setelah Terduga Oleh Si Ibu Mondan Tadi Tagis Maka Bergegas
Pulang Bahwa Anak Yang Di Tinggal Tadi Telah Brkelahi, Sesampainya Si Rumah Di
Tengok/Lihat Rupanya Si Taruh Teleh
Basa, Taruh Tidak Bisa Bicara Lagi, Ibu Mondan Pun Ketakutan
Menengoknya/Mlihatnya Di Pandangnya Anak Si Mondan Tidak Ada Di Rumah Sudah
Lari. Di Panggilnya Ibu Si Taruh Kalau Anaknya Sudah Basah, Datanglah Ibu Taruh
Menengok/Melihat Darah Di Sekujur Tubuh Anaknya, Lalu Di Pampanlah Darah
Tersebut Berhenti. Tidak Lama Kemudian Si Taruh Pun Siuman Dari Pingsannya,
Setelah Dia Bisa Bercerita Di Ceritakanlah Apa Yang Terjadi Pada Mereka Tadi.
Oleh Sebab Itu Si Taruh Anaknya Di Bawa Pulang Keseberang Sebelah Kiri Sungai
Pakis. Setelah Sore Maka Pulnglah Ayah Mereka Dari Mencari Rotan Dan Damar.
Di
Ceritakalah Oleh Ibu Si Mondan Pada Suaminya Bahwa Anak Kakaknya Itu Di Bacok
Oleh Si Mondan Kena Kepala, Ayah Si Mondan Langsung Ke Seberang Tempat
Keponakannya Itu Si Taruh. Menengok/Melihat Keponakannya Itu Si Taruh Semakin
Parah, Ayah Mondan Pun Menangis Mita Penyembahan Hutang Adat, Di Waktu Itu Maka
Esok Harinya Di Kumpulkannya Orang Banyak Di Jamu Si Taruh Dia Orang Kampung
Tersebut, Di Jatuhkan Hutang Pada Mondan Membayar Sepolagak Pakaian Dan
Telengkung, Tidak Cukup Itu Saja Di
Tambah Lagi Uang, Setelah Beberapa Minggu Hutang Tersebut Telah Di Kukuhkan
Pada Si Mondan Adik Datuk Paduka Konoro, Kepada Si Taruh, Si Taruh Pun Sakit
Semakin Panas Karena Lukanya Sampai Ke Otak, Otaknya Bercampur Darah Dan Tidak
Terselamatkan Maka Akhirnya Si Taruh Meninggal. Setelah Meninggal Si Taruh
Hutang Uang Pun Belum Terbayarkan Pada Kakaknya Itu, Maka Di Patuskanlah Oleh Ayah Datuk Paduka Konoro Untuk Memeberi
Setumpuk Goran Rotan Miliknya Pada Kakanya Datuk Sati Dan Juga Sama Tanah Yang
Ada Di Sebelah Kanan Pakis Di Bawah Bukit Pematang Kauah Sekarang. Jadi Sejak
Saat Itu Sungai Pakis Di Kuasai Oleh Pihak Suku Melayu Semuanya. Tetapi Ereka
Tetap Hidup Rukun Da Damai, Permasalahan Itu Adalah Adik Beradik Semomondo
Kesomondo Tidak Ada Prubahan Tetap Seperti Sedia Kala.
Arkian
Kisah Ini Di Ceritakan Semakin Lama Semakin Ramai Masyarakatnya Semakin Makmur
Percahariannya Di Sana Adalah Mencari Damar Mata Kucing Dan Rotan Juga Memotong
Getah Taban, Di Beli Oleh Orang-Orang Yang Datang Di Sana Yang Ikut Berdagang.
Adapun Di Situ Ada Jalan Setapak Antara Rokan Iv Kota Ke Luhak Rambah. Dari Rokan
–Kota-Sijernih- Bukit Pematang Petomeh- Luntik Tomosu-Pemantang Sopan Sili Adik
Air Sungai Hitan Pematang Penyebab Uangnya- Kampung Pakis- Pematang Kaucah-
Pemantang Pemantang Pantian Kosik Ke Paoh Rambah. Inilah Jalan Alternatif Di
Zaman Itu Selain Jalan Sungai Rokan, Orang Berdagang Melewati Jalan Tersebut
Ingin Ke Luhak Rokan Atau Ke Luhak Rambah. Orang-Orang Di Kampung Pakis
Sangatlah Penatik Agama. Taat Tetapi Adalah Keras Orang-Orang Pedagang Lewat
Tidak Boleh Tanpa Oermisi Suara Sopan Dan Baik, Kita Tidak Boleh Lewat
Menyisingkan Kaki Celana Ataupun Baju Apabila Pedagang Lewat Menyusungkan Kaki
Celana Di Tuduh Menjelekan Kampungnya Kotor, Bila Kita Di Lipat Kaki Celana Di
Tuduh Pula Kita Sombong, Melipatkan Lengan Baju Di Kira Pula Kita Menghinakan
Jantan/Lelaki Mau Cari Lawan Katanya, Itulah Yang Terjadi Waktu Itu Di Kampung
Pakis. Semakin Kuatnya Agama Saat Itu Semakin Hilang Jugalah Kebiasaan Seperti
Tadi Di Sebut Di Atas. Orang-Orang Berdatangan Dari Mana-Mana Hendak Ke Kampung
Pakis Guna Untuk Menuntut Ilamu, Ilmu
Tarikat Dan Ilmu Suluk Semakin Lama Semakin Membaik Rejeki Murah. Padi
Masyarakat Pun Menjadi-Jadi Buahnya Semakin Tahun Semakin Membaik, Ikan Pun Di
Sungai Pakis Banyak, Suatu Malam Bermimpilah Istri Dari Datuk Paduka Konoro,
Anak Yang Dari 15 Tadi, Tapi Tentunya Dari Suku Melayu. Adik Dari Padaanak
Istri Ayah Datuk Paduka Konoro. Dia Bermimpi Bahwa Ada Induk Emas Murni Di
Bawah Batu Besar Tungga Tersebut, Minta Di Darahi Batu Tungga Tersebut Tempat
Di Mana Dia Di Dalamnya.
Ke Esokan Harinya Di Ceritakanlah Pada
Datuk Paduka Konoro Hal Tersebut, Mau Tidak Mau Di Carikanlah Oleh Datuk Konoro
Ular Uba. Dia Apabila Di Potong-Potong Mengeluarkan Getah Merah Serperti Darah.
Itulah Yang Di Jadikan Pengganti Darah Kambing Tersebut. Hal Ini Tidak Di
Ceritakan Pada Siapa Pun Karena Takut Apabila Tidak Ada Nanti Malu Sama
Orang-Orang Yang Mengetahuinya. Bahkan Sama Abangnya Pun Datuk Sati Tidak Di
Ceritakan Prihal Mimpinya Itu. Suatu Hari Setelah Di Ceritakan0leh Suaminya
Akan Uba Tersebut Di Tumbuklah. Pagi Itu Oleh Istrinya Datuk Paduka Konoro,
Orang Melayu, Tentunya Sepeninggal Suaminya Itu Mencari Damar Dan Rotan. Maka
Oleh Istri Datuk Paduka Konoro Di Siramkanlah Ke Atas Batu Tungga Tadi Tidak
Lama Kemudian Terdengarlah Ada Bunyi Yang Keluar Dari Bawah Batu Tersebut
Menggelegar. Batupun Bergoyang, Di Perdulikan Oleh Istri Datuk Konoro Tadi,
Rupanya Benar Sebongkah Emas Murni Keluar Seperti Logam Tempat Gilingan Cabe
Berwarna Kuning Bercahaya. Oleh Istri Datuk Paduka Konoro Di Pangkulah Benda
Tersebut Tetap Di Rahasiakan Oleh Istri Datuk Paduka Konoro, Bersama
Keluarganya. Tapi Datuk Sati Sudah Tahu, Dia Merasa Iba Kenapa Saya Atau
Kelurga Saya Tidak I Ikut Sertakan Dalam Hal Tersebut Atau Di Kasih Tahu Kalau
Dia Sudah Mendapat Sebongkah Emas Murni Dari Bawah Batu Tersebut.
Tersinggung/Kesal Dalam Hati Tapi Tidak Kelihatan. Keesokan Harinya Bikin
Jemuran Istri Dari Datuk Paduka Konoro, Setelah Setengah Hari Jemuran Padinya
Kering. Di Bangkitlah Jemuran Tersebut, Setelah Sholat Duhur Di Tumbuklah Padi
Tersebut, Di Waktu Menumbuk Tadilah Datuk Paduka Konoro Bersama Istrinya.
Cerita Punya Cerita Terarah Ke Emas Yang Di Dapat Kemaren, ( Pikiran Saya Mimpi
Itu Hanya Bunga Tidur Saja, Tidak Mungkin Semudah Itu Rasanyadapat Emas Sebesar
Itu. Rupanya Mau Juga Tertipu Darah Akar Uba Di Kiranya Darah Kambing, Ialah
Kata Datuk Tadi Saat Sekarang Di Mana Pula Kita Mau Carikan Kambing Terpaksalah
Darah Uba Ku Carikan Untuk Mengantinya ) Percakapan Selesai. Terdengarlah Suara
Meronta Di Tang Sangga Tadi. Nampaklah Emas Seperti Logan Tadi Putus Dari
Ikatannya, Berputar Ke Bawah Menuju Kearah Batu Tungga Tadi. Istri Datuk Sati
Mengejar Kehalaman Ke Arah Emas Itu, ( Emas Itu Pergi Katanya ) Di Pukulah Hulu
Yang Di Pegangnya Ke Arah Emas Itu, Maka Kepinglah Emas Yang Tadinya Seperti
Logan. Sebesar Tiga Jari Itu Dapat Sama Istri Datuk Paduka Konoro. Yang Lainnya
Terus Berputar Ke Arah Batu Tungga Tersebut. Sampai Saat Ini Belum Pernah
Muncul, Tetapi Taik Emas Tersebut Masih Ada Karena Pernah Orang Mencoba Mencari
Emas Di Bawah/ Hilir Batu Tersebut. Dengan Cara Enginang Mereka Katanya Banyak
Yang Dapat Tapi Tidak Di Perbolehkan Oleh Anak Cucu Pakis Tersebut Untuk Di
Ambil.
Arkian Kisah
Kampung Pakis Semakin Tersohor,
Orang Di Sana Sangat
Terkenal Dengan Ilmu Terikatnya, Tenaga Dalam Mereka Sangat Kuat, Tahan Kulit
Dan Lain Sebagainya.
Dengan Banyaknya
Penduduk Tinggal Di Sana, Sedangkan Tempat Berladang Belum Begitu Luas,
Kemudian Ada Yang Pindah Kesadaran Namanya Sebagian Berladang Di Sana Namun Tidak
Lama Kemudian Kira-Kira Tiga Tahun Kembali Lagi Ke Kampung Asalnya Yaitu
Kampung Pakis. Yang Pergi Itu Adalah Suku Caniago Keluarga Anak Datuk Sati
Tidak Lama Kemudian Maka Terpikirlah Pula Oleh Datuk Sati Dan Datuk Paduka
Konoro Ingin Meminta Hutan Tanah Seperti Layaknya Empat Kota Di Bawah. Satu
Ketika Berkumpulah Pemuka-Pemuka Tokoh-Tokoh Di Sana Untuk Meminta Hutan Tanah,
Serta Pangkat Pada Kampung Yang Di Tunggunya Itu Kepada Raja. Namun Untuk
Membali Seekor Kerbau Bukanlah Mudah, Uang Emas Dua Puluh Real Dan Serta Alat
Pemasak Beras Secukupnya. Maka Anak Cucu Tokoh Di Situ Bergotong Royong Untuk
Mencari Batang Ami, Untuk Di Buat Tali Penjahit Serbaguna, Ada Yang Gotong
royong Mencari Dawar Sedikit Demi
Sedikit Di Kumpul, Setelah Kira-Kira Cukup Dananya Untuk Persembahan Tersebut
Maka Di Jualah Tali Ami Tadi Di Damar Tersebut, Di Belikan Kerbau 1 ( Satu )
Ekor, Emas Dua Puluh Real Serta Dan Alat Masak Secukupnya. Maka Orang Pakis
Tokoh-Tokohnya Hilirlah
KE UJUNG
BATU Koto tinggi lubuk bendahara MENEMUI
datuk BENDAHARA. , MINTA DI BAWA untuk MENGHADAP YANG DIPERTUAN BESAR NAMANYA
GUDIMAT.
Setiba Di Situ Bendahara Ujung Batu Membawa Mereka
Yang Dipertuan, Serta Mempersembahkan Yang Di Bawa Orang Itu Lalu Maksud Ingin
Meminta Hutan Tanah Dan Pejabat/Gelarnya Waktu Itu. Yang Dipertuan Gudimat Pun
Menerimanya Dengan Baik, Dan Seterusnya
Yang Dipertuan Pun Dari Ujung Batu Gudimat Memeberi Gelar Atau Pangkat
Kepada Utusan Tersebut Yaitu Tepatnya
Keponakan Dari Datuk Sati, Di Beri Gelar / Pangkat Datuk Bendahara Muda.
Setelah
Permintaan Rombongan disetujui maka oleh Datuk Sati Di Beri Gelar Dan Pangkat ,Maka
Mereka Kembali Pulang Ke Kampung Pakis. Demikianlah Orang Kampung Pakis Meminta
Sukunya Pada Saat Itu pada Raja Dan Setelah Dapat
GELAR DATUK BENDAHARA MUDA DI PAKIS
Mulailah Memerintah, Selang Beberapa
Tahun Masyarakatnya Semakin Bertambah
Kemakmuran Rakyatnya Semakin Membaik Pada Suatu ketika Anak Dari Datuk Sati
Keponakan Dari Datuk Paduka Konoro Ingin Bersuku Pula Dan Punya Gelar Namun
Tidak Mungkin Satu Kampung Satu Ketua Sukunya Atau Pemimipinnya, Jadi Oleh Sebab
Itu
Datanglah Datuk Paduka Konorok pada
Datuk Sati, Bahwa Anak Datuk Sati Keponaka Datuk Paduka Konoro Meminta Pula
Jabatan Dan Pangkat Yang Sama Sepert Anak Datuk Konoro Keponakan Dari Datuk Sati Tadi. Maka
Berangkatlah Datuk Dan Datuk Paduka Konoro Dan Datik Bendahara Muda Untuk
Mencari Tanah Buat Di Jadikan Kampung.
Pergilah Naik Bukit Gunung Kancah Tegak Kedepan, Tidaklah Nampak Juga Akan Di
Jadikan Tapak Perkampungan, Tetapi Karena Anak Datuk Sati Keponakan Dari Datuk
Paduka Konoro Tetap Mau Pindah Juga Maka Di Buatlah Kampung Di Sekitar Daratan
Sungai Mayau Yaitu Kampung Selasi Karena Disitu Ada Satu Pohon Selasi Besar Batangnya Di Namakanlah Kampung
Salasi Tidak Lama Di Situ Kampung Tersebut Di Olah Oleh Semut Gatel, Semua
Rumah Di Panjat Kesitu Semut Gatal Tersebut. Bila Dia Menggigit, Gigitannya Itu
Terasa Gatal Sekali, Akhirnya Pindah Ke Hilir Anak Sungai Yang Agak Besar Itu,
Di Sana Ada Air Terjun ( Sersah ) Maka Kampung Itu Di Namakan Kampung Limabung,
Namun Juga Tidak Lama Bertahan Disana. Maka Pulanglah Kembali Anak Datuk Sati, Keponakan Dari Datuk Paduka
Konoro Ke Kampung Lama Pakis dan memberi Kabar Bahwa Bukan Ada Yang Cocok Untuk
Di Jadikan Perkampungan. Keesokan Harinya Di Kabarkanlah Oleh Datuk Sati Untuk
Mufaka/Musyawara Mencari Tempat Perkampungan Kembali, Maka Datuk Sati Dan Datuk Paduka Konoro Serta Tokoh Pakis Pergi
Kesebelah Bukit Yang Kancah Turun Dan Naik Ke Suatu Bukit Yang Tinggi, Sesampai
Diatas Layangkanlah/Melepas Pandangan Ke Kiri Dan Ke Kanan, Namun Tiada Nampak
Ada Hambaran Yang Baik Sepanjang Kaki Gunung Itu. Di Kelok-Kelokan Air Di Kaki
Gunung Itu Baik Di Jadikan Kampung Maka Disitulah Terjadinya Kampung Pemandang
Yaitu Pemandangan. Dari Bukit Yang Tinggi. Gunung Itupun Diberi Nama Gunung
Pemandang Sampai Sekarang.
Setelah Dapat Maka Di Tebaslah Oleh Rombongan Tadi
Dan Datuk Sati, Datuk Paduka Konoro Serta Rombonganya Pun Kembali Naik Ke Gunung Kancah. Lebih Kurang 2
( Dua ) Tahun Kemudian Anak Datuk Sati Keponakan Dati Paduka Konoro Pun Ingin
Minta Jabatan Pula Dan Sukunya Di Situ, Seperti Halnya Anak Datuk Paduka Konoro
Keponakan Dari Datuk Siti Yang Tinggal Di Pakis, Yang Sudah Dapat Gelar Dan
Pangkat. Tidak Lama Maka Di Lengkapilah Oleh Anak Datuk Siti Alat Penyembahan
Yang Di Bawa Oleh Datuk Sati Dan Datuk Paduka Konoro Ke Datuk Bendahara Di
Ujung Batu Untuk Membawa Persembahan Dan
Menghadap Yang Dipertuan Besar Gudimat. Sesampai Di Situ Datuk Bendahara Pun
Mempersembahkan Hal Tersebut, Yang Di Pertuan besar Pun Setuju Dan
Di Berikan Gelar Datuk Bendahara Raja.
Sedangkan Kerbau Persembahan Tadi
Tidaklah Di Potong, Tapi Di Gantikan Dengan Uang Enam Real. Itulah Yang Di
Namakan Orang Kerbau Kurus, Setelah Persembahan Itu Selesai Dan Telah Mendapat
Pangkat Atau Gelar Serta Kekuasaan Tempat Berladang (Ulayak ) Mereka Kembali Ke
Pakis Dan Anak Datuk Sati, Keponakan Datuk Paduka Konoro Pulang Ke Pemandang.
SEDANGKAN HAK KE KERAJAAN ANAK PAKIS TEMPAT BERLADANG ( ULAYAT )
Sebelah Timur berbatasan dengan
Penghulu Sepuluh Rokan lubuk dua ,Sepanjang Sungai Rokan
Sebelah Barat berbatasan dengan mulai dari Dari Hulu Sungai Pakis
Sampai Lubuk Rao Bukit Simelembu
Sebelah Utara berbatasan dengan Si Jernih Bukit Potomeh Kurungan
Kambing
Sebelah Selatan berbatasan dengan Naro Kayo Pematang Kancah Pemandang
Itulah Adanya Ceita Sejarah Turun
Temurun Sampai Sekarang. Sejak Masuknya Zaman Patih Ke Luhak Rokan Maka
Kampung-Kampung Yang Ada Di Luhak Rokan Mulailah Goyang Ada Yang Pindah Ke Tempat Lain Penduduknya
Mulai Rusuh Ke Hidupan Semakin Sulit. Maka Suatu Ketika Setelah Selesai Suluk
Maka Di Buatlah Jamuan Makan Bersama, Ada Salah Satu khalifah Bergelar
Tengku Jolelo Adik Datuk Bendahara Raja
Yang Tinggal Di Pakis Suku Caniago Berkatap-Kata Apabila Nanti Kampung Ini
Sudah Semakin Sulit Kehidupan Disini Ku Harap Pada Anak Cucu Ku, Untuk Hijrah
Ke Penyiraman Sungai Yang Besar Supaya Mudah Di Jangkau Orang Banyak. Tempat
Perbelajaan Dekat. Maka Dari Situ Banyaklah Yang Pindah Meninggalkan Kampung
Pakis, Adapun Pihak Suku Caniago Sebagian Pindah Ke Pemadang Di Bagian Pindah
Membuat Kubu-Kubu Bersama Pihak Suku Melayu. Keturunan Datuk Bendahara Muda
Pakis, Keponakan Dari Datuk Sati.
Sejak
Di Angkatnya Raja Yang Di Pertuan Sakti Ibrahim Di Persembahkan Oleh Datuk
Bendahara Muda
PADA RAJA YANG DIPERTUAN SATI IBRAHIM
Untuk Membuat Kampung di Atas Sedikit
Sungai Pakobuk Sekarang. Dulu
Hanya Kubu-Kubu Di Ganti Dengan Pablik. Lebih Kurang Tahun 1903, Sampai Perang
Jepang Tahun 1943 dan sampai Sekarang ini Zaman Reformasi dan Terakhir Pimpinan Ninik Mamak Pemangku Adat Pakis Lama
–Pakobuk Desa Tanjung Medan
Adalah Datuk Bendaharo Mudo Amirudin yang serah
terimakan dari Datuk Bendaharo Mudo Amro .
Keberadaan Komunitas Masyarakat adat Ninik mamak Kampung Lama Pakis juga di Ceritakan Pada
BUKU SURAT PAPARAN ASAL USUL RAJA DAN HAMBA RAKYAT LUHAK ROKAN IV KOTO YANG DI CERITAKAN OLEH YANG
DI PERTUAN SAKTI IBRAHIM PADA TAHUN 1902 .
Langganan:
Postingan (Atom)