Minggu, 28 September 2014

JIKA NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI ,MAKA KAMIPUN TIDAK MENGAKUI NEGARA

MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA


JIKA NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI ,MAKA KAMI PUN TIDAK MENGAKUI NEGARA.


Kutipan pernyataan itu merupakan pernyataan yang dihasilkan pada saat pendirian Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 di Jakarta. Pernyataan itu memiliki suatu makna mengenai tuntutan untuk menata hubungan yang baru antara masyarakat adat dengan negara. Pernyataan itu merupakan bentuk refleksi dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat, terutama untuk merespons Orde Baru yang mengabaikan, mendiskriminasi, dan bahkan merampas hak-hak masyarakat adat atas nama pembangunan.

Pada dekade yang bersamaan pada level internasional juga sedang menguat gerakan dari para orang asli yang menggunakan tradisi sebagai alat perjuangannya. Kelompok-kelompok dari orang asli ini dalam wacana dan gerakan internasional disebut dengan indigenous peoples. Apakah tepat menerjemahkan indigenous peoples sebagai masyarakat adat? Siapa indigenous peoples dalam konteks Indonesia?

Untuk menjawab hal itu maka perlu dilihat dulu mengenai karakteristik dari masyarakat di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan juga merupakan negara multi-etnis. Pemerintah mengkalkulasikan terdapat 1.128 etnis di Indonesia. Penduduk Indonesia pun terdiri dari dua ras yang berbeda yaitu Austronesia yang merupakan ras mayoritas dan ras Melanesia terutama penduduk asli Pulau Papua. AMAN memperkirakan bahwa jumlah masyarakat adat di Indonesia berkisar antara 50-70 juta atau sekitar 20% dari penduduk Indonesia. Jumlah itu merupakan jumlah yang dominan bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah indigenous peoples secara regional di Asia dan dunia. UN Permanen Forum on Indigenous Issue memperkirakan jumlah indigenous peoples adalah 370 juta jiwa yang 2/3 dari jumlah itu tinggal di Asia (AIPP, 2014).

Gerakan masyarakat adat di Indonesia berkembang pada awal dekade 1990-an terutama untuk merespons persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari dampak program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Orde Baru dibawah kepempimpinan Presiden Soeharto. Permasalahan itu baik dalam bentuk diskriminasi, perampasan tanah, pengusiran, dan kekerasan lainnya. Agak berbeda dengan ciri perkembangan gerakan serupa di negara lain yang hadir untuk merespons penguasa dan praktik colonial yang masih berlangsung pada saat negara baru sudah terbentuk.
Pengakuan bersyarat
Mari kita lihat bagaimana hukum di Indonesia mendefinisikan masyarakat adat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia ditemukan beragam istilah untuk menyebut masyarakat adat. Istilah-istilah tersebut mulai dari komunitas adat terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, maupun masyarakat tradisional. Perbedaan istilah itu menunjukan belum adanya suatu pemahaman tentang siapa itu masyarakat adat dan sekaligus menunjukan perbedaan-perbedaan pendekatan yang digunakan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan masyarakat adat.
Bila merujuk kepada UUD 1945, istilah yang dipergunakan adalah kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18B ayat 2) dan masyarakat tradisional (Pasal 28I ayat 3). Selain itu ada pula Pasal 32 UUD 1945 yang relevan sebagai rujukan bagi pengaturan masyarakat adat namun pada ketentuan tersebut tidak menggunakan istilah untuk penyebutan subjek hukum masyarakat adat.
Pasal 18B ayat 2               Pasal 28I ayat 3
Negara mengakui dan menghormati kesatuan­ kesatuan masyarakat hukum adat serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat  dan prinsip Negara Kesatuan  Republik  Indonesia, yang diatur dalam undang­undang. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
 Diantara ketiga ketentuan itu, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang paling sering dirujuk karena juga pada ketentuan tersebut diatur baik mengenai subjek maupun hak masyarakat adat. Dalam pengaturan mengenai subjek, ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Namun pengakuan dan pernghormatan tersebut dilakukan dengan sejumlah syarat. Terdapat tiga syarat untuk pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu: (1) Masyarakat adatnya masih hidup; (2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan (3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan bersyarat tersebut menjadi hambatan bagi penerapan self-determination yang merupakan salah satu tema pokok dalam diskusi dan gerakan masyarakat adat secara umum. Pengakuan bersyarat itu berimplikasi bahwa keberadaan masyarakat hukum adat tidak ditentukan melalui self-determination atau self-identification, melainkan ditentukan keberadaannya oleh negara, tentu saja melalui pemerintah, apabila syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi.
Konsep indigenous peoples pada konteks internasional
Dalam buku State of the World’s Indigenous Peoples State of the World’s Indigenous Peoples yang diterbitkan oleh PBB pada tahun 2009 dijelaskan bahwa konsep mengenai indigenous peoples sebenarnya berkembang dari pengalaman kolonialisme, dimana masyarakat adat mengalami marginalisasi karena invasi yang dilakukan oleh kolonial.
“The concept of indigenous peoples emerged from the colonial experience, whereby the aboriginal peoples of a given land were marginalized after being invaded by colonial powers, whose peoples are now dominant over the earlier occupants. These earlier definitions of indigenousness make sense when looking at the Americas, Russia, the Arctic and many parts of the Pacific. However, this definition makes less sense in most parts of Asia and Africa, where the colonial powers did not displace whole populations of peoples and replace them with settlers of European descent. (State of the World’s Indigenous Peoples, 2009:6)”

Pada konteks internasional sangat disadari bahwa pembicaraan mengenai indigenous peoples adalah pembicaraan struktur masyarakat dan praktik kolonial yang megucilkan penduduk asil masih dipertahankan bahkan sebuah negara baru telah dibentuk. Dengan kata lain, konsep indigenous peoples lahir pada konteks dimana penguasa kolonial masih menjadi kekuatan dominan paska negara-negara terbentuk. Disadari pula bahwa hal itu sangat relevan dengan konteks Amerika, Rusia, Arktik dan banyak tempat di Pasifik. Namun pendefinisian yang demikian kurang sesuai dengan kebanyakan bilayah di Asia dan Afrika dimana kekusaan kolonial tidak berlanjut ketika negara-negara baru dibentuk oleh penduduk asli.
 Colonial period
Ilurtrasinya digambarkan pada bagan di atas. Pada bagan atas, digambarkan bagaimana penguasa colonial masih terus menjadi kekuatan dominan ketika rezim negara dibentuk, sehingga penduduk asli yang termarjinalisasi mendefinisikan dirinya sebgai indigenous peoples. Dalam konteks demikian, indigenous peoples merupakan respons terhadap dominasi kolonial pada tahap lanjut. Berbeda dengan bagan yang di bawah dimana keberadaan dan praktik kolonial dikikis dengan dengan dibentuknya negara baru. Kolonialis ditendang kembali ke kampong halamannya, mereka tidak menjadi penduduk dominan di negara yang merdeka. Ini yang terjadi di kebanyakan wilayah Asia dan Afrika. Lalu bagaimana mendefinisikan kelompok masyarakat yang ada pada bagan di bawah paska kolonialisme? Apakah mereka tepat disebut sebagai indigenous peoples? Padahal mereka tidak hadir sebagai respons atas kolonialisme tahap lanjut dari bangsa Eropa? Atau apakah mereka lebih terpat dikelompokan sebagai masyarakat suku (tribal peoples)?
Tribal peoples Vs indigenous peoples
Perkembangan awal instrument hukum internasional yang membahas hal ini, yaitu Konvensi ILO 169 yang dikeluarkan oleh International Labor Organization (ILO) pada tahun 1989 membedakan dua kelompk yang disebut dengan indigenous peoples dan tribal peoples.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) dari Konvensi ILO 169 dinyatakan bahwa:
“indigenous peoples” as being “peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the  time  of  conquest  or  colonization  or  the  establishment  of  present  states boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions.”
Sementara itu dalam Pasal Pasal 1 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa”
‘tribal peoples’ is “peoples  in  independent  countries  whose  social,  cultural  and  economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulations.”
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua konsep itu adalah mengenai penaklukan (conquest) dan kelanjutan kolonialisasi (colonization) yang masih berlangsung sampai hari ini sebagaimana terdapat dalam definisi indigenous peoples. Pada tribal peoples, persoalan kelanjutan kolonialisasi (continuity of colonization) bukan menjadi factor pengidentifikasi. Pada tribal peoples yang diutamakan adalah mengenai perbedaan (distinguish) daroi aspek sosial, budaya dan ekonomi antara tibal peoples dengan komunitas-komunitas nasional.

Sedangkan dari sisi PBB, perkembangan instrument hukum internasional mengenai masyarakat adat didalami secara serious dengan terlebih dahulu melakukan penelitian sistematis mengenai keberadaan masyarakat adat. Studi tersebut dilakukan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Jose Martinez Cobo (Special-Rapporteur of the UN Sub-Commission on the Promotion  and  Protection  of  Human  Rights). Dalam hasil studinya tersebut Cobo memberikan mendefinisikan sebagai berikut:
Indigenous communities, peoples and nations are those which, having a historical  continuity  with  pre-invasion  and  pre-colonial  societies  that developed  on  their  territories,  consider  themselves  distinct  from  other sectors of the societies now prevailing in those territories, or parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are determined to  preserve,  develop  and  transmit  to  future  generations  their  ancestral territories,  and  their  ethnic  identity,  as  the  basis  of  their  continued existence  as  peoples,  in  accordance  with  their  own  cultural,  social institutions and legal systems.”

Diskursus mengenai masyarakat adat di PBB mengerucut kepada pengunan satu istilah. Bila sebelumnya di dalam Konvensi ILO 169 dikenal istilah indigenous peoples dan tibal peoples, dalam kajian dan rezim hukum pada PBB mengerucut kepada penggunaan istilah indigenous peoples. Sebuah kajian yang dilakukan United Nation Permanent Forum on Indigenous Issue yang berjudul The Concept of Indigenous Peoples (PFII/2004/WS.1/3)pada tahun 2004 menyimpulkan:

“Nevertheless, many of these peoples refer to themselves as “indigenous” in order to fall under discussions taking place at the United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and “tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify themselves under the indigenous agenda.”

Kesimpulan itu kemudian menjembatani debat antara indigenous peoples dan tribal peoples. Pilihan kata yang digunakan adalah indigenous peoples, sedangkan kelompok tribal peoples pun dapat mempergunakan instrument hukum yang berkembang pada berbagai level dibawah paying indigenous peoples. Hal ini kemudian diperkuat dengan lahirnya UNDRIP yang mempergunakan istilah dan konsep indigenous peoples. Meskipun memang di dalam UNDRIP tidak ada pendfinisian siapa yang dimaksud dengan indigenous peoples.

Namun hal ini tidak betul-betul bisa dijembatani sebab dalam perkembangannya yang lebih banyak dirujuk adalah konsep mengenai indigenous peoples dari pada tribal peoples. Definisi kerja (working definition) dari Martinez Cobo selalu menjadi rujukan utama dari semua publikasi yang membicarakan mengenai masyarakat adat. Dalam definisi Cobo itu dapat diidentifikasi menjadi empat kriteria masyarakat adat. Empat kriteria itu adalah:

Kelanjutan sejarah dari masa masyarakat pra-invasi atau pra-kolonial yang hadir di wilayah mereka (colonial continuity)
Kekhasan bila dibandingkan dengan kelompok lain di dalam masyarakat (distinctiveness)
Bukan merupakan kelompok dominan di dalam masyarakat (non-dominance)
Memiliki kecenderungan untuk menjaga, mengembangkan dan melanjutkan wilayah adatnya kepada generasi berikut sebagai identitas mereka yang memiliki pola kebudayaan sendri, institusi sosial dan sistem hukum.
Lebih lanjut, UNPFII menambahkan tiga kriteria yang menjadi pelengkap dari keberadaan masyarakat adat (UNCHR, 2013:2-3). Tiga kriteria yang dimaksud adalah:

Hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumber daya alam di sekitarnya
Perbedaan sistem sosial, ekonomi dan politik; dan
Perbedaan bahasa, budaya dan kepercayaan.
Yang menarik dari ketujuh kriteria yang dirumuskan dalam Fact Sheet No. 9. Indigenous Peoples and United Nation Human Rights System yang diterbitkan oleh PBB itu adalah penempatan kriteria tersebut sebagai kriteria kumulatif. Mengapa demikian, karena secara gramatikal semua criteria tersebut sifatnya komplementer dan oleh karena itu lah dipergunakan kata hubung ‘dan’ pada penjelasan terakhir pada kriteria nomor enam. Sebagai kriteria  yang kumulatif, maka suatu masyarakat adat akan dianggap ada bila memenuhi kesemua kriteria tersebut.

Tujuh kriteria tersebut bisa diringkas menjadi lima kriteria sebagai berikut:

Keberlanjutan sejarah dari kolonialisme
Kekhasan menyangkut sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahasa
Bukan merupakan kekuatan dominan
Hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya
Memiliki tradisi yang dijaga secara turun temurun
Lalu bagaimana bila kelima kriteria tersebut diletakan dalam konteks masyarakat adat di Indonesia? Di Indonesia sendiri istilah dan definisi masyarakat adat sangat beragam. Dari sisi istilah misalkan ada peraturan yang menggunakan istilah komunitas adat terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, maupun istilah masyarakat tradisional. Sedangkan dari sisi definisi berikut beberapa definisi yang penting dikemukakan dalama pendek ini.

Peraturan dan istilah yang digunakan        Definisi dan Kriteria
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
Kesatuan masyarakat hukum adat



Kesatuan masyarakat hukum adat diakui:
Sepanjang masih hidup
Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Putusan Mahkamah Konsititusi    Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang   bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:
a)      ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);

b)      ada pranata pemerintahan adat;

c)      ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

d)      ada perangkat norma hukum adat; dan

khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu;

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Masyarakat hukum adat


Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Masyarakat hukum adat

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Masyarakat hukum adat



Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria
masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgememschaft);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
ada pengukuhan dengan peraturan daerah.


UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Kesatuan masyarakat hukum adat

Kesatuan masyarakat hukum adat memenuhi unsur:
sepanjang masih hidup
sesuai dengan perkembangan masyarakat
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Masyarakat adat, masyarakat tradisional, masyarakat lokal



UU ini membagi masyarakat dalam tiga kategori:
Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.


UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Masyarakat hukum adat





Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.


Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
Komunitas Adat Terpencil

Komunitas adat terpencil atau yang selama ini lebih dikenal dengan sebutan masyarakat terasing adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil antara lain:

berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen;
pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit dijangkau;
pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistems;
peralatan dan teknologinya sederhana;
ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi;
terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.
Defini kerja AMAN


Masyarakat adat



Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.


RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (Hasil Paripurna DPR, 11 April 2013)


Masyarakat hukum adat

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam,memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.


Masyarakat Hukum Adat memiliki karakteristik:

sekelompok masyarakat secara turun temurun;
bermukim di wilayah geografis tertentu;
adanya ikatan pada asal usul leluhur;
adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam;
memiliki pranata pemerintahan adat; dan
adanya tatanan hukum adat di wilayah adatnya.


Kesesuain dengan kriteria indigenous peoples
Beragam definisi dan kriteria mengenai masyarakat adat dalam kerangka hukum Indonesia perlu dikaitkan dengan konsep yang terdapat dalam diskursus internasional mengenai indigenous peoples. Hal ini setidaknya untuk memberikan gambaran sejauhmana konsep internasional sejalan dengan realitas dan konsep yang dikembangkan dalam kebijakan di level nasional.
Kriteria pertama dari indigenous peoples adalah keberlanjutan sejarah dari kolonialisme (historical continuity of colonialism). Kriteria ini sangat cocok untuk negara-negara di Benua Amerika dan Australia dimana kolonialis masih bercokol dan mendominasi negara meskipun secara formal kolonialisme dianggap sudah berakhir. Di Amerika Serikat misalkan yang mendominasi hari ini bukanlah penduduk asli, melainkan imigran yang berkuasa dan membangun negeri. Hal ini berbeda dengan Indonesia dimana kolonialis Belanda ‘ditendang’ pulang kampung dan tidak lagi menjadi kekuatan dominan di Republik Indonesia yang dibangun sendiri oleh penduduk asli Indonesia. Dengan demikian kriteria ini, meskipun menjadi kriteria utama dalam diskursus mengenai indigenous peoples, tetapi sangat tidak relevan dengan konteks Indonesia.

Lain halnya bila kriteria historical continuity of colonialism dimaknai secara lebih luas tidak terbatas kepada masih tinggal dan berkuasanya imigran ditanah asli masyarakat adat, melainkan sebagai konsep, hukum, dan bangunan sosial yang timpang yang masih terus diwariskan pada saat sebuah negara bangsa dibentuk. Dalam pengertian yang lebih luas ini kriteria historical continuity of colonialism dapat berlaku di Indonesia sebab masih banyak warisan hukum dan konsep kolonial yang mendiskriminasi penduduk pribumi yang diterapkan. Sebagai contoh misalkan konsepsi domein verkalring, bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat, maka dianggap sebagai tanah negara. Konsepsi ini masih terus dipertahankan sebagai pembenar dari perampasan tanah-tanah masyarakat adat. Selain itu, dalam konteks Indonesia warisan colonial seperti KUHP dan KUHPerdata masih tetap dipergunakan dan dianggap sebagai peraturan yang terintegrasi sebagai realitas sosial di Indonesia.
Kriteria kedua adalah kekhasan (distinctiveness) dari sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahasa. Kriteria kedua ini sangat penting namun bisa sangat menjebak. Kekhasan pada satu sisi bisa menjadi penanda keberbedaan antara satu komunitas dengan komunitas lain. Pada titik ini nuansa homogenitas dari suatu komunitas muncul sebab mereka secara kolektif berbeda dengan komunitas yang lain. Homogenitas itu bisa terjadi bila ada upaya pemurnian dan penolakan terhadap anasir dari luar yang bisa saja timbul dari interaksi yang bersifat sukarela (voluntary) misalkan melalui perdagangan dan pendidikan. Padahal amat sulit menemukan sebuah komunitas yang betul-betul homogen dan memiliki sistem sosial, ekonomi, politik, budaya dan bahasa yang khas. Kalaupun ada yang murni khas dan berbeda itu, berarti komunitas itu merupakan komunitas yang tidak pernah kontak dengan dunia di luarnya.
Masalah lain dari kriteria ini adalah bila sebuah komunitas sudah menerima sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bahasa lain, apakah komunitas tersebut masih dianggap sebagai indigenous peoples? Pada titik ini, criteria kekhasan (distinctiveness) menjadi jebakan. Misalkan, apakah bila masyarakat sudah menggunakan uang sebagai alat tukar masih dianggap memiliki sistem ekonomi yang khas? Atau apakah misalkan masyarakat sudah menggunakan pupuk untuk kegiatan pertanian dianggap memiliki sistem yang khas? Atau apakah masyarakat yang sudah mengadopsi sistem pemerintahan formal dan meleburkan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan formal masih bisa dianggap memiliki sistem yang khas? Atau apakah masyarakat yang sehari-hari sudah menggunakan bahasa Indonesia, yang bukan bahasa asalnya dianggap masih bisa dianggap memiliki sistem yang khas? Simpulannya, kriteria ini penting namun bisa menjadi jebakan bila tidak diargumentasikan dengan baik oleh masyarakat yang memperjuangkan identitas dan haknya sebagai masyarakat adat.
Kriteria ketiga adalah bukan merupakan kekuatan dominan (non-dominance). Kriteria ini sangat elementer sebagai basis untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang termarjinalisasi. Kriteria bahwa masyarakat adat bukan kekuatan dominan sebaliknya menunjukan ada kekuatan dominan di atas masyarakat adat. Kekuatan dominan itu bisa negara, pasar atau budaya tertentu yang menindas masyarakat adat. Elemen ini sangat penting dalam pengidentifikasian masyarakat adat di Indonesia sebagai gerakan warga negara yang selama ini menjadi korban diskriminasi dan pembangunan yang merampas tanah air masyarakat adat.
Kriteria keempat adalah hubungan yang kuat dengan tanah. Kriteria ini pun sangat relevan dengan konteks perjuangan masyarkat adat di Indonesia yang pada dasarnya adalah perjuangan untuk mempertahankan atau merebut kembali tanah air mereka di hadapan program-program pembangunan yang datang dari luar. Bagi masyarakat adat hubungan yang kuat dengan tanah tidak saja dengan mengartikan tanah sebagai faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tetapi dalam banyak hal tanah dan sumber daya alam lainnya menjadi identitas, harga diri dan menjadi tempat mengadakan ritual-ritual adat. Sesuai dengan sifat masyarakat adat yang bersifat komunal, maka hubungan yang kuat dengan tanah adalah hubungan yang bersifat komunal, bukan dalam pengertian hak atas tanah individual, meskipun di dalam tanah komunal bisa pula diperbolehkan individu untuk menggarap.
Kriteria kelima adalah memiliki tradisi turun-temurun dan hukum adat yang dipergunakan untuk mengelola kehidupannya. Aspek tradisi menunjukan ketersambungan antar-generasi di dalam masyarakat adat baik antare generasi yang dulu dengan sekarang atau dengan generasi berikutnya. Hadirnya tradisi dan institusi sosial seperti hukum adat menjadi kriteria yang membedakan masyarakat adat dengan komunitas masyarakat lainnya. Persoalannya tidak semua tradisi dan hukum adat tersebut masih utuh, melainkan banyak yang telah bergeser baik secara alamiah maupun karena paksaan dari luar.
Alternative pendefinisian masyarakat adat di Indonesia
Mendefinisikan masyarakat adat harus sesuai dengan konteks dimana gerakan itu muncul. Tidak heran kemudian PBB pun tidak mau memberikan definisi baku mengenai siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat karena gerakan masyarakat adat itu sangat kontekstual dan bahkan pada beberapa hal sangat bersifat lokal. Selain itu, tidak adanya definisi baku mengenai diapa masyarakat adat (indigenous peoples) akan memberikan peluang pula kepada penerapan self-identification yang merupakan salah satu penjaran dari prinsip self-determination dalam diskursus mengenai masyarakat adat di level internasional.
Membuat definisi yang baku punya konsekuensi kepada pengecualian (exclusion). Dalam konteks membangun sebuah gerakan, exclusion punya pengaruh untuk membatasi perkembangan gerakan menjadi lebih besar. Oleh karena itu diperlukan rumusan yang lentur untuk bisa mengakomodasi banyak kalangan. Namun tetap pelu juga memberikan pagar-pagar agar memudahkan proses-proses perjuangan, apalagi bila memasuki ranah hukum yang lebih operasional, misalkan dalam konteks bagaimana mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Pagar-pagar dimaksud diperlukan dalam bentuk kriteria-kriteria mengenai keberadaan masyarakat adat. Selama ini, kriteria masyarakat adat (indigenous peoples) yang berkembang dalam hukum dan diskursus internasional tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu pemaknaan mengenai kriteria yang lebih sesuai.
Gerakan masyarakat adat di Indonesia tidak mengalami historical continuity of colonialism, khususnya dalam bentuk kehadiran langsung para penguasa kolonial pada negara baru yang terbentuk. Selain itu, kriteria mengenai kekhasan (distinctiveness) pun mengalami problematika sendiri ditengah perkembangan masyarakat yang semakin terbuka. Ada karakter dan kriteria yang melekat kuat dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia. Tiga kriteria yang melekat dan perlu dijadikan sebagai rujukan adalah. Pertama, gerakan masyarakat adat merupakan gerakan dari kelompok yang tidak dominan. Dengan kriteria ini, maka gerakan masyarakat adat merupakan gerakan untuk menuntut keadilan, khususnya untuk menghadapi kekuatan dari luar yang menciptakan diskriminasi dan kesengsaran bagi masyarakat adat.

Kedua, gerakan masyarakat adat merupakan gerakan untuk menuntut kedaulatan atas tanah, wilayah dan sumber daya. Oleh karena itu gerakan ini punya karakter mengenai hubungan yang kuat antara masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya. Tidak berarti bahwa kriteria ini mempersempit gerakan masyarkat adat hanya sebatas gerakan yang berkaitan dengan hak atas tanah, dengan mengesampingkan hak-hak lain misalkan hak atas kebudayaan, pengetahun tradisional, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Penekanan kepada persoalan hak atas tanah, wilayah dan sumber daya diperlukan karena hak ini merupakan hak yang paling mendasar yang menjadi landasan bagi banyak hak-hak lainnya. Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya merupakan perjuangan bersama dan oleh karena itu hak ini bersifat komunal meskipun di dalam hak yang komunal tersebut terdapat pula klaim atau hak individu untuk menggunakan tanah, wilayah dan sumber daya bagi keperluannya.
Ketiga, gerakan masyarakat adat menggunakan tradisi sebagai alat perjuangannya. Tradisi dalam pengertian yang lebih luas termasuk pula hubungan asal-usul dengan tanah dan leluhur, serta praktik-praktik yang diterapkan sejak dahulu yang dipraktikan sampai sekarang untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Namun dalam banyak hal tradisi itu sudah mulai terkiris, oleh karena itu upaya untuk melakukan revitalisasi atau modifikasi tradisi merupakan hal yang wajar untuk menciptakan keberlanjutan sebagai sebuah komunitas.
Dengan mendasarkan pada ketiga kriteria atau karakteristik tersebut, maka masyarakat adat di Indonesia perlu dipahami sebagai komunitas-komunitas yang memiliki hubungan kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya dan mereka mempergunakan tradisi sebagai alat untuk menghadapi kekuatan dominan yang menciptakan situasi ketidakadilan dalam kehidupan mereka.

SUMBER : http://yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/

Tag:Hak Asasi Manusia, Hak Ulayat, Indigenous Peoples, Masyarakat Adat, masyarakat hukum adat, sumberdaya alam, UNDRIP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar