PENGAKUAN MASYARAKAT
ADAT DALAM INSTRUMENT HUKUM NASIOANAL
Oleh Azmi Siradjudin AR
“Asal – Muasal”
Istilah masyarakat
adat mulai mendunia, setelah pada tahun 1950-an ILO, sebuah badan dunia di PBB
mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah dihembuskan oleh ILO sebagai
isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi isu tersebut
untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan OMP
(1982) dan OD (1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika
Latin, Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu masyarakat adat berawal dari
berbagai gerakan protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang
meminta keadilan pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan
transnasional di bidang pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan
pengembangan sejumlah wilayah konservasi oleh pemerintah AS dan Kanada.
Komunitas Inuit di Alaska (negara bagian AS di dekat kutub
utara) adalah korban dari ketidak adilan pembangunan industri pertambangan di
Amerika Serikat. Di Kanada, komunitas Inuit yang masuk dalam wilayah negara
tersebut juga memprotes kebijakan Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan
wilayah kelola menuju desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan Migas dan
Batubara akan mengolah wilayah tersebut. Di sebelah tengah AS, pembangunan
Taman Nasional Missisipi juga merampas hak kelola komunitas pribumi Indian
lainnya, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional Rocky Mountain di
sebalah barat juga mengancam kehidupan Indian Apache. Berbagai protes dari
“native peoples” di dataran Amerika Utara pada tahun 1950-an, memancing reaksi
ILO sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam isu perlindungan tenaga kerja.
Karena itu, ILO kemudian melakukan berbagai riset lapangan, dan pada tahun
1957, ILO mengeluarkanKonvensi No.107 dan rekomendasi No.104 tentang
“Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku”. Pada tahun
1989, Konvensi tersebut diperbaharui oleh ILO dengan Konvensi No.169.
Isu-isu
ketidak-adilan yang dirasakan oleh berbagai komunitas “indie” (pribumi) ataupun
“native peoples” (masyarakat asli)
berpengaruh bagi ILO untuk memunculkan isu generatifnya, “indigenous peoples”.
Oleh gerakan Ornop (organisasi non-pemerintah) di Indonesia, kemudian diadopsi
dan diterjemahkan menjadi kosa kata “masyarakat adat”, terutama pada pertemuan
bertajuk “Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang
Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Dalam Kawasan Hutan”, yang berlangsung pada
tanggal 25 – 29 Mei 1993, di Toraja, Sulawesi Selatan. Isu “masyarakat adat”
semakin memperoleh tempatnya dalam gerakan masyarakat sipil melalui
pendeklarasian pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun
1999 di Jakarta.
“Realitas Sosial – Budaya”
Dari realitas
sosial-budaya yang ada di Indonesia, keberadaan entitas masyarakat adat
ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang
bervariasi. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam 4 tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal
yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak
mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan
lain-lainnya. Bahkan meraka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak
luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya
dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai
seperti komunitas To Kajang (Kajang
Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten; Kedua, adalah kelompok masyarakat
lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi
masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak
luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan
Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya
berada di Jawa Barat; Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung
dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka adat
yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan
dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat
adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan,
Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di
Lampung, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah
tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat
dari penjajahan yang telah berkembang
ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara,
dan Betawi di Jabotabek.
Realitas seperti pengelompokkan tipologi
masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak dijumpai di
berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun,
Mansama, Laudje, Tajio, Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari
daftar numerasi di Depdagri, diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan
ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah kelompok
etno-linguistik. Dari studi etnolog yang dilakukan Barbara Grimes, setidaknya
lebih dari 20 kelompok etno-linguistik yang berbeda terdapat di Sulawesi
Tengah. Tetapi, tidak semua kelompok etno-linguistik tersebut dapat
dikategorikan sebagai masyarakat adat. Sebab, pendefinisian masyarakat adat
harus merujuk kedalam 4 tipologi yang telah disebutkan sebelumnya
.
Berangkat dari
realitas tersebut tadi, sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah kita untuk
tidak mengakui eksistensi masyarakat adat, secara politik maupun hukum. Namun
sayangnya, penantian untuk adanya pengakuan secara politik dan hukum secara
gencar baru terasa pasca bergulirnya reformasi. Termasuk dalam perubahan atau
amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk amandemen yang ketiga dan
keempat. Bahkan jauh sebelumnya, sebanarnya telah ada UU Pokok Agraria tahun
1960 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno. Tapi, sayangnya lagi, UU
Pokok Agraria tidak banyak bermakna bagi keberadaan masyarakat adat di
Indonesia.
“Pengakuan Hukum”
Ada beberapa
instrumen hukum nasional yang mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), pengakuan dan penghormatan terhadap
masyarakat adat, termaktub dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui
dan menghormati kestuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”. Pasal ini, memebrikan posisi konstitusional kepada masyarakat
adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional
bagi penyelenggara negara, bagimana seharusnya komunitas diperlakukan. Dengan
demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang ; (a) kewajiban
konstitusional negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat, serta (b)
hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak tradisionalnya.
Apa yang termaktub dalam pasal 18B ayat (2)
tersebut, sekaligus merupakan mandat konstitusi yang harus ditaati oleh
penyelenggara negara, untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas keberadaan
maasyarakat adat dalam suatu bentuk undang-undang. Pasal lain yang berkaitan
dengan masyarakat adat, adalah pasal 281 ayat (3) yang menyebutkan “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.
Sebelum
amandemen terhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Azasi
Manusia (HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak
masyarakat adat. Dalam pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bahagian talk
terpisahkan dari TAP MPR itu, ditegaskan ; “Identitas budaya masyarakat
tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman”. Dengan adanya pasal ini, maka hak-hak dari amsyarakat adat
yang ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati,
dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat.
Bahkan dalam
TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat
adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut
sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan
dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip:......j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak amsyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam”.
Secara umum,
TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya
alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat
adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan
lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya
pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal PSDA berdasarkan prinsip-prinsip
penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat,
keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan terhadap masyarakat adat
Pada tingkatan
Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah
produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat.
Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas
persatuan bangsa”.
Pasal 5 ini
merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat
tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia
adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini,
dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan
hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum
yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal
dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi,
kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat
hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah
Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan
dibawah ini.
Undang-Undang No.39 tahun 1999
tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998
yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak
Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
(1) Dalam rangka
penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
(2) Indentitas
budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan
pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih
berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi
Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan
perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa
dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat
hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan
dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Lebih jauh,
pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum,
masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan
nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran
terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas)
nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika
pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau
paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan
berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM.
Undang-Undang
lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999
tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat,
seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas
adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih
diklaim sebagai hutan negara, seperti
dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan
negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah
(pasal 1 angka 4).
Untungnya,
pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama
bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat.
Pasal ini menyatakan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penjelasan
pasal 5 ayat (1) juga menguraikan:
“Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara
yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan
marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya… Dengan dimasukkannya hutan adat
dalam pengertian hutan negara, tidak
meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.”
Dengan
demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan
pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam
pasal 67 ayat (1) bahwa :
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, berhak:
a. melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat
yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.
Lantas,
bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih
ada ? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut
diupayakan sehingga hak-haknya dapat ditegakkan ? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat
(2) menyebutkan: “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Sedangkan untuk pertanyaan pertama,
penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut:
“Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah
hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan
perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari”.
Berbeda
dengan UU sebelumnya yang menegaskan hak-hak masyarakat hukum adat dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan
budaya, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada
penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan
pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal
203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya
berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini
sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya
dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerin-tahan setingkat desa
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud
dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di
provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan
Papua, Negeri di Maluku”.
--------------------
*Artikel ini, dikembangkan dari Konsep Paper “Usulan
Kebijakan Pengukuhan Hak Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Propinsi
Sulawesi Tengah” – Yayasan Merah Putih (YMP).
**Kedua penulis, adalah staf pada Yayasan Merah Putih (YMP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar